Jumat, 16 Oktober 2009
Senin, 05 Oktober 2009
hari 2: hari apung
Hari kedua tiba.
Kami berada di terminal Ubung, Denpasar Bali. Pun sama, kami “diserang” calo. Dan sepertinya calo-calo di Bali lebih keras dari Jawa. Apa mungkin karena berbeda budaya dan bahasa ya? Aku menolak mereka dengan alasan dijemput. “kami dijemput pak” itu saja yang sering aku katakan.
Kami sendiri sebenarnya juga bingung. Kami muter-muter di terminal itu. Mungkin inilah yang membuat para calo agak jengkel dengan kami, katanya di jemput tapi masih sliweran di terminal. Mereka pun menggerutu dengan bahasanya sendiri. Ah, emang gue pikirin. Aku lalu menghubungi Eko, teman sekolahku dulu.
Tak lama kemudian, ia pun datang. Kami dibelikan sarapan di Rumah Makan Padang di depan terminal. Ah enak rasanya.
Makna hidup no 3 : teman adalah orang yang bisa membantu kita disaat genting sekalipun.
Dan kami lalu melanjutkan perjalanan kami hingga ke pelabuhan Padang Bai. Kami naik angkutan dulu sampai di terminal Batu Bulan di Bali, lalu dilanjutkan naik bis hingga ke pelabuhan. Kami turun dipertigaan Padang Bai. Lalu kami berjalan sekitar 1 km. tiba disana sekitar pukul 11 WITA.
Pelabuhan Padang Bai dan Lembar terkenal dengan calonya yang luarbiasa sangat meresahkannya. Tahun kemaren saja, kami kena tipu di 2 tempat itu. Akhirnya kami putuskan untuk menjadi “tokek budheg”. Kami cuekin aja calo-2 itu.
Kami langsung beli tiket dan lalu naik kapal ke Lombok.
Seperti biasa, kapal masih didominasi oleh turis asing yang ingin berlibur ke Lombok.
Kami tiba di pelabuhan Lembar sekitar pukul 4 sore. Tidak ada yang special untuk diceritakan.
Kami langsung naik angkutan menuju ke terminal Sweta, Mataram. Dan lagi-lagi kami mendapat kabar kalo terminal Sweta jauh lebih berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pelabuhan Syahbandar Lampung. Calonya sangat memaksa, dan banyak copet disana.
Kami lalu menaiki engkel (sejenis mobil colt bison) ke arah Pancor Selong, Lombok Timur.
Disana kami berkenalan dengan ibu yang sangat baik hati yang akhirnya menjadi “ibu angkat” kami selama kami di Lombok. Namanya bu Haji Ijun. Orangnya sangat baik. Sangat-sangat baik. Dari awal kenal, kami langsung diajaknya dirumahnya. Dijamunya dengan baik, bahkan ketika kami bilang kalo kami hendak ke Rinjani, beliau langsung membawakan kami bekal yang sangat banyak.
Luar biasa orang ini, pikirku. Aku sudah speakless. Aku sudah tidak bisa menghitung berapa “terima kasih” yang sudah kami ucapkan. Beliau sangat baik. Pengetahuannya sangat luas. Ketiga anaknya telah berhasil. Semuanya ada di kota-2 besar Jakarta, dan Surabaya. Lulusan ITS, dan UI. Ah pokoknya speakless. Kami tidak menyangka orang dengan penampilan sangat sederhana layaknya orang asli Lombok, namun pengetahuannya melebihi orang kota. I am really speakless.
Makna hidup no 4 : jangan melihat orang dari penampilannya.
Makna hidup no 5 : seperti kejahatan, kebaikan itu ada dimana-mana. Tinggal pilih saja, kita mau menjadi orang baik atau menjadi orang jahat.
Kami lanjutkan perjalanan sampai ke Pancor. Kerumah om Herman. Kebetulan saat itu si Capres Jusuf Kalla lagi ada disana.
Ok, ini adalah laporan keuangan selama perjalanan dari sby sampai ke Lombok.
Kereta Sby-Bwgi Rp. 19.500
Feri ke Bali Rp. 5.700
Bis ke Ubung Rp. 25.000
Angkutan ke Batu Bulan Rp. 7.000
Bis ke Padang Bai Rp. 15.000
Feri ke Lombok Rp. 31.500
Angkutan ke Sweta Rp. 15.000
Angkutan ke Pancor Rp. 10.000
Kami berada di terminal Ubung, Denpasar Bali. Pun sama, kami “diserang” calo. Dan sepertinya calo-calo di Bali lebih keras dari Jawa. Apa mungkin karena berbeda budaya dan bahasa ya? Aku menolak mereka dengan alasan dijemput. “kami dijemput pak” itu saja yang sering aku katakan.
Kami sendiri sebenarnya juga bingung. Kami muter-muter di terminal itu. Mungkin inilah yang membuat para calo agak jengkel dengan kami, katanya di jemput tapi masih sliweran di terminal. Mereka pun menggerutu dengan bahasanya sendiri. Ah, emang gue pikirin. Aku lalu menghubungi Eko, teman sekolahku dulu.
Tak lama kemudian, ia pun datang. Kami dibelikan sarapan di Rumah Makan Padang di depan terminal. Ah enak rasanya.
Makna hidup no 3 : teman adalah orang yang bisa membantu kita disaat genting sekalipun.
Dan kami lalu melanjutkan perjalanan kami hingga ke pelabuhan Padang Bai. Kami naik angkutan dulu sampai di terminal Batu Bulan di Bali, lalu dilanjutkan naik bis hingga ke pelabuhan. Kami turun dipertigaan Padang Bai. Lalu kami berjalan sekitar 1 km. tiba disana sekitar pukul 11 WITA.
Pelabuhan Padang Bai dan Lembar terkenal dengan calonya yang luarbiasa sangat meresahkannya. Tahun kemaren saja, kami kena tipu di 2 tempat itu. Akhirnya kami putuskan untuk menjadi “tokek budheg”. Kami cuekin aja calo-2 itu.
Kami langsung beli tiket dan lalu naik kapal ke Lombok.
Seperti biasa, kapal masih didominasi oleh turis asing yang ingin berlibur ke Lombok.
Kami tiba di pelabuhan Lembar sekitar pukul 4 sore. Tidak ada yang special untuk diceritakan.
Kami langsung naik angkutan menuju ke terminal Sweta, Mataram. Dan lagi-lagi kami mendapat kabar kalo terminal Sweta jauh lebih berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pelabuhan Syahbandar Lampung. Calonya sangat memaksa, dan banyak copet disana.
Kami lalu menaiki engkel (sejenis mobil colt bison) ke arah Pancor Selong, Lombok Timur.
Disana kami berkenalan dengan ibu yang sangat baik hati yang akhirnya menjadi “ibu angkat” kami selama kami di Lombok. Namanya bu Haji Ijun. Orangnya sangat baik. Sangat-sangat baik. Dari awal kenal, kami langsung diajaknya dirumahnya. Dijamunya dengan baik, bahkan ketika kami bilang kalo kami hendak ke Rinjani, beliau langsung membawakan kami bekal yang sangat banyak.
Luar biasa orang ini, pikirku. Aku sudah speakless. Aku sudah tidak bisa menghitung berapa “terima kasih” yang sudah kami ucapkan. Beliau sangat baik. Pengetahuannya sangat luas. Ketiga anaknya telah berhasil. Semuanya ada di kota-2 besar Jakarta, dan Surabaya. Lulusan ITS, dan UI. Ah pokoknya speakless. Kami tidak menyangka orang dengan penampilan sangat sederhana layaknya orang asli Lombok, namun pengetahuannya melebihi orang kota. I am really speakless.
Makna hidup no 4 : jangan melihat orang dari penampilannya.
Makna hidup no 5 : seperti kejahatan, kebaikan itu ada dimana-mana. Tinggal pilih saja, kita mau menjadi orang baik atau menjadi orang jahat.
Kami lanjutkan perjalanan sampai ke Pancor. Kerumah om Herman. Kebetulan saat itu si Capres Jusuf Kalla lagi ada disana.
Ok, ini adalah laporan keuangan selama perjalanan dari sby sampai ke Lombok.
Kereta Sby-Bwgi Rp. 19.500
Feri ke Bali Rp. 5.700
Bis ke Ubung Rp. 25.000
Angkutan ke Batu Bulan Rp. 7.000
Bis ke Padang Bai Rp. 15.000
Feri ke Lombok Rp. 31.500
Angkutan ke Sweta Rp. 15.000
Angkutan ke Pancor Rp. 10.000
Label: pariwisata
lombok trip sesi 2
Hari pertama kami, kami habiskan di kereta Sri Tanjung jurusan Sby – Banyuwangi.
Kami berangkat dari stasiun Gubeng pukul 2 siang. Tujuan kami adalah stasiun Ketapang. Stasiun itu cukup dekat dengan pelabuhan Ketapang, tinggal jalan kaki, tidak sampai 10 menit sudah sampai.
Menit demi menit didalam kereta kami jalani dengan cukup gelisah. Kami tidak sabar ingin segera sampai di Lombok.
Hpku berdering. Sms dari adikku masuk. Dia bilang, angin di pelabuhan Lombok cukup kencang, itulah kenapa salah satu tetanggaku tidak jadi pulang kampung ke Lombok. Ow ow…. Sepertinya mencekam sekali. Kami lalu berdiskusi, apa tidak sebaiknya kita keliling bali saja. Dan akhirnya dengan tekad yang cukup kuat, kami putuskan untuk pergi saja ke Lombok, toh niat kami juga baik. Tidak ada niat buruk sedikit pun. Insya Allah.
Makna hidup no 1 : ketika kita berniat untuk melakukan suatu kebaikan, maka seketika itu pula setan mencoba untuk memalingkan muka kita dari tujuan kita.
Kami sampai di stasiun Ketapang pukul 23.30 malam. Dan kami langsung melanjutkan perjalanan kami ke Bali, namun sebelumnya kami berhenti dulu untuk membeli teh hangat di sekitar pelabuhan.
Tips untuk para backpacker atau wisatawan dengan uang pas-pasan, kalau berada di stasiun, pelabuhan, dll sebaiknya jangan terburu-buru. Kuasai medan terlebih dulu. Diamlah sejenak, atau anda bisa duduk di warung-warung terdekat. Karena kalo tidak demikian, kita pasti “diserang” para calo. Berbuatlah seolah-olah kita adalah penduduk setempat yang sudah tahu rute perjalanan.
Sebenarnya aku sendiri tidak habis bertanya kenapa calo-calo itu menjadi calo. Yang sok perhatian pada orang lain, mengikuti orang lain berjalan, dll. Ah sangat meresahkan. Mereka tidak henti-hentinya menawarkan tiket yang (katanya) lebih murah. Bull shit. Aku pernah dibohonginya, ternyata harga yang diberikan itu bukanlah harga tiket, tapi harga jasanya, dan ketika kita sudah berada didalam kendaraan maka si penarik tiket akan menagih tiket kita. Menjengkelkan ga sih?
Makna hidup no 2 : di dunia ini banyak orang yang tampak seolah-olah membantu kita, namun ternyata malah menyesatkan kita dan mengambil keuntungan dari kita.
Label: pariwisata