Senin, 27 Juni 2011

Kemilau Emas Dari Timur

“dimana ada pertemuan, pasti ada perpisahan”

Pepatah itu memang benar adanya. Sebuah pepatah yang membuat kita belajar bahwa tidak ada yang abadi didunia ini kecuali Tuhan. Namun kawan, apa yang kamu rasakan jika perpisahan itu belum pada “saat”nya?

Itulah yang aku rasakan saat ini.

Inilah kisahku tentang perpisahan yang (andai ia tahu) aku sangat sayang padanya. Sayang seorang guru yang teramat sangat pada muridnya. Eric, itu nama muridku.
Kawan, masih ingatkah kamu betapa aku sangat merindukan papua? Sebuah tempat yang sangat aku idam-idamkan. Sebuah tempat yang menjadi no 1 dalam urutan tempat yang ingin aku kunjungi.

Tepat disaat kerinduan yang amat besar pada papua itulah si Eric datang. Dia menceritakanku tentang papua. Membuatku merasa sedikit terobati.

Perkenalan ini pun berlanjut dengan proses belajar mengajar. Dia mendapatkan nilai-nilai bagus di mata pelajaran yang aku ajarkan. Dan aku masih ingat, pada saat itu aku rela memberikan nilai diatas 90 untuk karya syntax hurufnya. Dia menggabungkan huruf “E” dan “R” menjadi sebuah bentukan yang unik. Sebuah karya yang belum terpikirkan oleh kawan-kawannya.

Namun kekagumanku bukan berhenti sampai disana kawan. Dia anak yang sopan. Punya kemampuan berkomunikasi yang baik, dan satu hal: dia punya ambisi yang besar untuk maju. Inilah yang membuatnya beda diantara kawan-kawannya.

Entah mengapa, sampai sekarang aku masih kagum dengan orang-orang yang semangat. Masih ingat murid-murid luar biasaku seperti Arif, Maulida, dan anak-anak aulia yang lain? Ya, sejenis itulah si Eric, namun aku menemukannya di sekolah tempat aku mengajar. Di SMK IPIEMS ini.

Kawan, andai kamu tahu, tidak banyak aku menjatuhkan kekagumanku pada orang lain. Di sekolah ini pun, rasa kagum itu hanya jatuh di beberapa orang saja. Salah satunya adalah pada si Eric ini.

Perjalanan sekolah pun berlanjut dengan kemampuannya menguasai software-software dengan cepat. Jauh lebih cepat dari teman-temannya.

Lalu aku berkaca pada diriku sendiri: seusianya, aku masih jauh dari kemampuan yang dimilikinya sekarang. Sungguh dia adalah anak yang hebat berbakat. Aku menyebutnya: kemilau emas dari timur. Seorang anak yang hebat dari negeri ujung Indonesia – Merauke.

Entah mengapa tiba-tiba aku merasa dia menjadi sedikit sombong. Kemampuannya ini menutup mata dan hatinya bahwa segala yang dia miliki juga pemberian dari orang lain. Beberapa masukan dan arahan ditampiknya dengan enteng. Dia merasa menjadi jago dengan sendirinya. Beberapa sikap dan ucapannya mencerminkan itu.

Kawan, dari sanalah hubunganku menjadi sedikit lebih longgar dengannya. Masalah menjadi rumit ketika beberapa sumber mengatakan bahwa dia menjadi provokator untuk membenciku sebagai guru. Jujur kawan, aku tidak tahu dari sisi mana dalam diriku, yang membuatnya menjadi sedemikian bencinya.

Lalu, ketika ego bertemu ego, saling tidak menyapa pun terjadi, apalagi aku tidak mengajar dia lagi. Aku sendiri merasa hak-ku sebagai guru yang (semestinya) dihormati tidak kudapatkan. Maka siapa yang bisa bertahan dengan kondisi yang seperti itu? Aku pun menjadi malas berhubungan dengan dia. Tapi kawan, percayalah tidak ada satu pun guru dan orang tua yang menginginkan hubungan yang tidak harmonis dengan anaknya dan muridnya.

Jujur kawan, aku punya banyak kesempatan yang semestinya bisa dia dapatkan: kesempatan lomba, beasiswa, ilmu, seminar, dll. Namun karena hubungan ini tidak baik, maka kesempatan itu pun aku berikan pada muridku yang lain. Kawan, dengarkan. Sebenarnya aku menyesalkan hal ini. Namun hati picikku mengatakan, “ah biarlah, toh si Eric juga tidak tahu”. Bukan itu kawan. Aku tidak seperti itu. Aku menginginkan dia yang mendapatkan. Dia juga muridku, dia pantas mendapatkannya.

Kawan, aku ingin kau tahu. Bukan kebencian yang membuatku tidak mau bicara dengannya. Hanya waktu. Ya, hanya waktu. Aku tidak memiliki kesempatan untuk bicara dengannya. Aku tidak pernah mengajarnya lagi. Aku juga tidak ada urusan dengannya. Itu juga yang berlaku pada murid-murid seangkatannya.

Kawan, sungguh aku menyesalkan hal ini. Aku benci dengan kesibukan. Aku ingin punya banyak waktu dan kesempatan. Aku ingin lebih dekat dengan murid-muridku terutama “si emas dari timur”. Aku ingin melihat dari dekat betapa jauh lebih hebatnya dia sekarang. Melihat karya-karyanya. Melihat skillnya. Ah…….biar doa ini saja yang mengiringinya untuk menjadi yang terbaik di setiap waktunya. Biarlah aku dengan kesibukanku.

Terakhir aku mendapat kabar dari pembimbing magangnya, bahwa Eric menjadi siswa unggulan di tempat magangnya. Perusahaan pun menjadi sangat puas dengan kinerjanya. Dan ia dapat kesempatan kerja ditempat itu. Sebuah doa yang terkabulkan. Sungguh kawan, aku masih menyimpan girang ini dalam hati.

Tahu kawan, sebuah kabar mengejutkan, si emas dari timur itu mau meninggalkan sekolah ini. Dia hendak pindah sekolah di daerah lain. Tahukah kau kawan perasaan ini? Tidak karuan.

Membayangkan aku tidak akan bertemu dengannya lagi, menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagiku.

Itu salah satunya. Dan hati ini menjadi lebih tidak tenang ketika tersadarkan bahwa ia hendak pindah disekolah yang mutunya masih dipertanyakan. Sungguh kawan, aku tidak rela. Aku tidak rela. Tak apalah jika dia hendak pindah disekolah yang lebih bagus dari sekarang, aku akan rela. Namun ini?

Bukan aku bermasalah dengan sekolah itu, kawan. Tapi permasalahanku adalah dengan masa depan si muridku.

Berbagai pertanyaan (yang mungkin konyol) berjibun diotakku ini:
Apakah dia bisa mempertahankan keunggulan ini?
Bisakah dia menjadi lebih hebat dengan fasilitas (yang mungkin) seadanya?
Bisakah dia lulus dengan baik disana?
Dan bisakah dia bekerja dengan baik nantinya?


Kawan, aku sudah cerita padanya, bahwa bisa jadi 1 tahun kedepannya adalah satu tahun yang akan berat baginya. Dengan fasilitas dan sistem belajar disana, bukan tidak mungkin, dia menjadi stagnan. Semoga perusahaan yang menjanjikannya pekerjaan nantinya bisa mempertahankan komitmennya untuk menerimanya kembali. Sungguh kawan, aku takut, permasalahannya dunia yang digelutinya sekarang, perubahannya amat sangat cepat. Bisa jadi perusahaan itu akan menemukan orang yang lebih baik dari Eric.

Entahlah,

Kawan, aku mencoba menawarkan solusi padanya. Berharap agar ia bisa bertahan disekolah ini yang hanya tinggal selangkah lagi. Berharap agar suatu saat kelak aku punya kesempatan untuk bisa kembali akrab dengannya.

Namun sepertinya dia masih membenciku. Sebuah benci yang aku sendiri tak tahu mengapa. Kawan, semoga kita semua terhindar dari fitnah. Dan kawan, mohon doakan agar aku dan dia tidak menjadi korban fitnah dari keadaan selama ini.

Dia (sepertinya) menolak tawaranku.

Kawan, solusi ini adalah sebuah cara yang sudah kupikirkan matang-matang untuk membuktikan betapa aku sangat sayang padanya. Aku bukan tipe orang yang mengucapkan rasa sayangnya, walaupun semestinya aku sangat ingin menjadi orang yang pandai mengucap sayang. Entah mengapa bibir ini selalu kaku untuk mengatakan sayang meskipun itu untuk orang tua sendiri.

Kawan, kau yang ada disana, disebuah negeri dalam khayalanku, jika kau bisa tahu apa yang aku rasakan, maka tolong sampaikan aku sangat sayang pada semua muridku terutama dia. Sampaikan juga rasa maafku yang teramat dalam atas kesalahan yang pernah kuperbuat. Sungguh aku tidak ingin “kemilau” itu menjadi pudar karena salah tempat. Tuhan, kumohon pada-Mu jaga ia baik-baik. Biarkan ia tetap berkilau disana.


-Sebuah catatan keresahan seorang guru-

Label:

Kamis, 09 Juni 2011

pendaftaran sekolah kreatif SMK IPIEMS

pendaftaran sekolah kreatif SMK IPIEMS sudah dimulai.....
ayo segera mendaftar!



Link and Match Program

oleh: Gusti Mohammad Hamdan, ST

Aku mendengar kata ini sejak aku berada di STEMBA. Bu Yekti yang mengenalkanku ketika aku bertanya apa bahasa inggrisnya PKL (Praktek Kerja Lapangan). Hari ini aku sangat beruntung karena aku bertemu langsung dengan penggagasnya. Beliau, pak Wardiman Djojodiningrat. Sebuah nama yang wajib dihafalkan sebagai nama menteri Pendidikan dan kebudayaan pada era orde baru.

Program ini adalah sebuah jawaban atas permasalahan bangsa yang sudah sangat klasik yakni pengangguran. SMK sebagai sebuah institusi yang mencetak lulusan kerja diharapkan benar-benar mampu mengurangi angka pengangguran di negeri kita tercinta Indonesia ini. Untuk membekali siswa SMK dengan keterampilan kerja dan mengenalkan mereka pada dunia kerja, maka pemerintah mencanangkan program Link and Match yakni program magang di perusahaan yang sesuai dengan jurusan yang diambil siswa.

Pada saat itu pemerintah bersama dunia industri telah membuat sebuah silabus untuk mengatur pelaksanaan Link and Match program ini. Di Jakarta pada saat itu, beberapa industri telah melaksanakan silabus tersebut dengan tiap beberapa siswa akan mendapatkan satu pembimbing dari perusahaan dan sekolah. Satu bulan siswa akan mengerjakan pekerjaan A, lalu bulan berikutnya B, berikutnya C, dst. Program ini (sejatinya) mampu membuat siswa SMK menjadi lebih terampil dan menjadi siap kerja. Namun dalam pelaksanaannya, program ini tidak berjalan mulus. Beberapa sekolah menempatkan siswa di perusahaan yang kurang tepat. Hal ini mengakibatkan siswa menjadi bingung apa yang harus dilakukan. Satu kasus yang diangkat pada saat itu adalah tentang sekitar 200 siswa magang di sebuah perusahaan raksasa di bidang otomotif di Jakarta. Pada seminggu awal melakukan magang di perusahaan, sekitar 20% dari siswa membolos, selebihnya kurang memiliki attitude / sikap yang baik. Setelah ditanya tentang alasan membolos, (diluar dugaan) ternyata siswa bingung tidak tahu harus berbuat apa di perusahaan tersebut.

Link and Match program menuntut sebuah sekolah untuk memberikan pelatihan terlebih dulu pada siswa tentang lingkungan kerja. Beberapa diantaranya adalah tentang disiplin, sikap, dan kompetensi siswa yang berkualitas. Ini bisa dilatih ketika siswa berada di lingkungan sekolah. Jam datang misalnya. Siswa harus dilatih untuk datang tepat waktu, tidak terlambat dan tidak membolos. Kenyataannya di sekolah, jika siswa terlambat, maka sekolah masih memberi toleransi, bahkan (beberapa sekolah) toleransinya sangat besar. Ini membuat siswa tidak terlatih disiplin dari sisi waktu.

Selain itu dunia industri juga menuntut siswa untuk memberikan hasil kerja yang maksimal. Misal, perusahaan Televisi. Jika kondisi TV yang diproduksi bagus, maka akan diberi kode “Accept”, sedangkan jika kondisi produksinya buruk, maka akan mendapatkan kode “Reject”. Dunia industri sangat ketat terhadap mutu hasil produksi, maka untuk itu dibutuhkan karyawan yang benar-benar mampu bekerja dengan baik. Kenyataannya berbeda dengan pendidikan di sekolah. Jika siswa melakukan kesalahan, maka siswa masih diberi nilai standar, bahkan jika siswa melakukan kesalahan pun toleransinya masih cukup besar. Ini sangat tidak mendidik siswa untuk bisa memberikan kualitas kerja yang optimal.

Saat ini dunia sekolah menjadi dilemma seperti “daging hamburger” yang diapit oleh dua roti. Bingung menentukan pilihan, apakah harus mengikuti standar yang diinginkan dunia industri sehingga harus menerapkan sistem pendidikan yang ketat dan super disiplin, ataukah mengikuti arahan dari pakar-pakar psikolog tentang kelembutan dalam pendidikan yang telah mendapatkan persetujuan dari pihak-pihak hukum. Jika sebuah sekolah menerapkan kedisiplinan pada siswanya, lalu memberikan hukuman pada siswa yang terbukti bersalah, maka pihak orang tua dan lembaga hukum anak tidak menyetujuinya dan akan menyalahkan sekolah atas keketatannya. Namun jika terlalu disayang, maka anak tidak bisa berkembang terutama dalam pendidikan sikap dan perilaku.

Itulah kebingungan yang dihadapi oleh sekolah. Untuk menanggulangi hal ini, sekolah harus memiliki karakter sendiri bagaimana bisa menghadapi kedua hal tersebut secara bersamaan. Kata Bang Jay, seorang pakar bisnis dan pelatihan mental mengatakan bahwa dia pernah diundang untuk bicara didepan siswa dan orang tua siswa tentang pentingnya sebuah penanaman sikap dalam sebuah kegiatan rapat guru dan orang tua siswa. Ini bisa ditiru, karena menurut beliau hasilnya cukup optimal. Beberapa orang tua menjadi sadar bahwa jika mereka menitipkan anaknya disekolah, maka pihak sekolah punya kewenangan untuk juga mendidik anak tersebut. Dan salah satu bentuk pendidikan yang diajarkan disekolah adalah mengenai sikap.

Beberapa keluhan dunia industri ini dinilai wajar, karena tidak ada satu pun manusia didunia ini yang mau memiliki anak buah yang tidak memiliki sikap yang baik, seperti: sering berbohong, tidak pernah tepat waktu, tidak mau menerima masukan, dll. Untuk itu, maka selain kompetensi, sikap juga akan terus menjadi pertimbangan dunia industri untuk menerima karyawan. Dengan Link and Match program, pemerintah berusaha untuk menjawab permasalahan ini dengan cara membekali siswa dengan pengetahuan dan pelatihan dunia kerja.

Link and Match program juga menuntut sekolah untuk memilihkan dunia industri yang tepat pada siswa, baik pada saat magang maupun pada saat lulus. Contoh kasusnya adalah jumlah lulusan SMK jurusan otomotif di daerah Bondowoso sangat tinggi. Ini tidak sebanding dengan kebutuhan dunia industri otomotif di daerah itu. Sekolah yang menerapkan Link and Match program dengan baik akan mengarahkan siswanya untuk bekerja di daerah dimana daerah tersebut membutuhkan tenaganya.

Bagi siswa yang hendak melakukan magang atau kerja di industri yang bidangnya tidak sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya di sekolah, maka sekolah bisa mengarahkan jenis-jenis pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan oleh siswa tersebut di perusahaannya YANG TERKAIT DENGAN JURUSANNYA. Salah satu contoh adalah siswa jurusan desain grafis melakukan magang di instansi dinas perindustrian. Sekilas memang tidak ada keterkaitan antara jurusan yang dipelajari siswa dengan departemen dimana siswa berada. Namun demikian, sekolah bisa mengarahkan siswanya untuk lebih kreatif dalam memandang sebuah pekerjaan, seperti: mengerjakan brosur dinas perindustrian, pembuatan kemasan untuk UKM-UKM binaan dinas perindustrian, dll. Dengan melakukan pekerjaan yang sesuai, maka kompetensi siswa bisa terarah dan hasil kerja siswa akan lebih optimal.

Link and Match program kini hanya wacana. Buktinya hingga sekarang tidak ada sekolah yang benar-benar menyiapkan siswanya untuk siap terjun didunia kerja. Mereka hanya mengajarkan siswanya pelajaran sesuai dengan kurikulum yang dibuat. Tidak ada pendidikan sikap. Tidak ada pelatihan dunia kerja. Beberapa sekolah bahkan membiarkan siswanya mencari tempat magang sendiri tanpa tahu pasti apa yang bisa dikerjakan oleh siswa di perusahaan tersebut. Beberapa sekolah juga tidak memantau apakah siswanya masuk atau tidakkah pada saat magang. Semuanya lepas kendali. Bukan seperti itu tujuan dari Link and Match program ini.

Saat ini bpk Wardjiman bersama gubernur DKI Jakarta Bp. Fauzi Bowo sedang merumuskan konsep baru tentang magang siswa SMK yang bertajuk PPKSK (Program Pelatihan Kompetensi Siap Kerja). Setelah dipaparkan oleh beliau tentang program ini, saya menemukan perbedaan pada pembangunan mental guru dan pembangunan infrastruktur. Kasus yang diangkat adalah sekolah yang ada di Jakarta. Dengan siswa berjumlah lebih dari 600 siswa, sedangkan computer yang dimiliki hanya 10 unit. Ini tidak berimbang. Semestinya pada saat berada di laboratorium komputer, setiap siswa harus memegang satu komputer. Itu idealnya.

Pada saat ditanya, apakah memungkinkan program PPKSK diterapkan di Jawa Timur khususnya Surabaya yang saat ini lebih dikenal sebagai kota vokasi, beliau hanya menjawab “jika saya diminta oleh gubernur atau pejabatnya, maka saya mau”. Lanjutnya, guru-guru harus bersatu untuk merayu gubernur agar mau meminta beliau menerapkan program ini di daerah Jawa Timur. Ya semoga apapun nama programnya, itu bisa menjadikan Indonesia ini menjadi lebih baik.

Label: