Gadis yang tak tahu malu!
kisah ini dipersembahkan untuk orang yang masih percaya bahwa impian itu bisa dicapai asal ada semangat.
Tidak seperti biasanya, kulihat gadis itu murung. Dari tadi ia sesenggukkan, menundukkan mukanya. ia tidak peduli dengan orang-orang yang seliweran masuk rumah kosnya. Juga tidak peduli dengan lalu lalang kendaraan yang lewat depannya. Kami duduk didepan kosnya saat itu. Kubiarkan ia memuaskan tangisnya.
Lalu ia mengangkat mukanya dan mulai bicara. Kemarin malam, tepatnya sepulang kerja dari project dosennya, ia berteduh di salah satu tempat di kampusnya. Hujan sangat deras waktu itu, juga gelap. Begitulah karakter kampus kalau malam hari.
Tiba-tiba ia melihat ada seorang pria setengah baya naik sepeda datang dari arah jalan. Pria itu juga ingin berteduh sepertinya. Bajunya sudah basah total. Di keranjang sepedanya terlihat ada sisa bungkus nasi, dan 1 botol besar air minum. Tidak tahu, apakah itu air asli pabrik atau air masakan dari rumah. Itu tidak penting.
Si pria bertanya padanya dimana arah jalan keluar. Dikampus sebesar kampusnya memang agak sulit bagi pendatang baru untuk menemukan jalan keluar, apalagi malam seperti itu. Dia lalu menunjuk gerbang masuk yang juga gerbang keluar.
Untuk memecah suasana, dia bertanya pada pria yang terlihat sangat kedinginan itu:
“dari mana pak”
“dari perumahan sebelah sana mbak” jawabnya
“sedang apa disana?” tanyanya lagi
“sedang cari kerja mbak. Sebagai kuli bangunan”
“lalu...?” dia bertanya lagi
“saya tidak diterima mbak”
Seketika itu juga dia langsung menaruh perhatian pada cerita si bapak itu. Lalu bertanya lagi, “lho, rumah bapak dimana?”
“saya dari Jombang mbak”
Ia kaget, “apa? Dari Jombang? Naik sepeda?”
Si bapak hanya mengangguk mengiyakan dan melanjutkan, “saya berangkat dari sana jam 5 pagi. Berbekal nasi bungkus dari istri saya dan harapan besar untuk diterima kerja jadi kuli bangunan. Tapi nyatanya.......”
Dia tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa membetulkan posisi jilbabnya yang menutup pandangannya...
Si bapak melanjutkan, “nyari kerja sulit ya mbak......”
Semakin iba ia pada si bapak tua ini. Dilihatnya isi dompetnya, diambillah semuanya. Diberikan semua pada si bapak tanpa melihat berapa jumlahnya. Seingatnya, dompetnya masih tersisa 250 ribu.
Sambil sesenggukkan menangis, ia cerita padaku ketika ia melihat tangan bapak yang bergetar kedinginan, mungkin juga kelaparan dan kelelahan, menerima pemberiannya. Ia juga mengingat betapa muka si bapak begitu ceria dan sudah tidak terhitung jumlah “terima kasih” yang diucapkannya. Si bapak tidak bisa berkata apa-apa selain syukur.
Dia meminta si bapak untuk menunggu sebentar. Dia hendak ke ATM yang jaraknya tidak jauh dari tempat ia berteduh. Masih satu atap. Dia lalu melihat sejumlah uang hasil gaji pertamanya bekerja di dosennya. Ia berniat menyerahkan semuanya (subhanallah, SEMUANYA) ke bapak itu.
Dia kegirangan, karena dia menemukan sebuah kesempatan untuk berbuat baik. Dengan memasang muka ceria namun empati, ia mencoba menghampiri bapak itu lagi.
Dia diam, dan menangis lebih dalam didepanku. Dia bilang, dia tidak bertemu dengan bapak itu. Si bapak itu pergi entah kemana. Padahal itu masih hujan deras. Dia mencoba untuk melongok kesana kemari, namun tidak ditemukan juga si bapak itu. Dia mencoba melayangkan pandangannya jauh ke gerbang kampus namun tidak juga ia melihat sosok orang naik sepeda. Aneh memang.
Ketika kutanya mengapa ia menangis, ia menjawab “gus, aku telah kehilangan kesempatan untuk berbuat baik. Aku menyia-nyiakannya. Aku jengkel pada diriku sendiri”
---
Subhanallah kawan, sungguh saya sangat bersyukur telah memiliki seorang kawan yang luar biasa seperti dia dan menjadi orang pertama yang bisa menikmati kisah indah ini. Bisa jadi si bapak itu adalah malaikat yang sedang menyamar.
Si gadis lugu itu dari pelosok desa di Banyuwangi yang datang ke Surabaya tanpa modal apapun (termasuk restu orang tua) untuk mengejar impiannya bekerja di perusahaan pertambangan. Setamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya di kampus teknologi terbesar di Indonesia Timur jurusan teknik lingkungan.
Dia seorang gadis yang tidak malu bekerja apapun asalkan halal.
Dia seorang gadis yang tidak pernah malu untuk bertanya, bahkan mengulang pertanyaannya jika memang ia tidak mengerti.
Dia seorang gadis yang tidak pernah malu naik sepeda kemana-mana ditengah kawan-kawannya yang sudah gonta-ganti mobil.
Dia seorang gadis yang tidak pernah malu jika harus makan sisa makanan orang di warung makan sebelah kosnya jika ia tak memiliki uang.
Dia adalah kawanku – Ika, yang saat ini sudah meraih impiannya bekerja di pertambangan Pertamina di Kalimantan. Dia juga yang menjadi partner sosialku. Dia juga yang pertama kali memberiku novel “Laskar Pelangi” yang didalamnya ada sebuah note yang berisi “aku ingin Gusti menyelamatkan Lintang-Lintang yang lain. Buku ini kuberikan pada Gusti. Gratis”
Bangga punya kawan sepertimu, mbak Ika. Biar kutularkan semangat kebaikanmu ini pada semua orang yang kukenal. Biarkan kami menjadi orang yang tak pernah takut bermimpi sepertimu. Ijinkan kami menduplikat kebaikan hatimu.
:(
Label: friendship
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda