Senin, 18 Januari 2010

Prihatinkah?

“tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan” (Laskar Pelangi hal 17)

Untuk kesekian kalinya aku harus merasa tertampar oleh kondisi pendidikan bangsaku. Dan rasanya firasatku mengatakan tamparan itu akan datang lagi, entah besok, lusa, atau setelah aku menyelesaikan makanku pagi ini. Apa yang dikatakan oleh Andrea Hirata dalam novelnya “Laskar Pelangi” yang salah satu kalimatnya kukutip dalam pembukaan tulisanku ini – memang sebuah kenyataan yang benar adanya.

Dulu, ibuku sering bercerita betapa mengenasnya sekolahnya waktu itu. Ruang kelas lebih cocok dikatakan sebagai kandang ayam. Baunya begitu apeg. Apalagi seusai istirahat sekolah, dimana bau keringat anak-anak bercampur dengan pakaian lusuh yang sudah seminggu tidak dicuci.

Ku kira itu hanya dulu.

Pun aku juga merasakannya. Setiap anak diwajibkan membawa ember kecil sesuai urutan piketnya. Sekedar jaga-jaga kalau saja hari itu hujan sedang turun. Pasalnya hampir di tiap titik di sudut kelas ruang sekolahku bocor. Atapnya rapuh, plafonnya pun tak lagi lurus. menganga ke atas bagai grafik fungsi kuadrat dengan koefisien “a”-nya bernilai positif. Lantainya pun memuntahkan sumber air disini, disana, dimana-mana.
Kukira itu hanya dijamanku.

Pun saat ini, saat jemariku mengetik “masalah pendidikan Indonesia” di makhluk serba tahu bernama “google”, betapa aku harus menerima kenyataan bahwa keadaan belum berubah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Data Media Tracking YPHA mengatakan bahwa permasalahan infrastruktur sekolah seperti rusaknya gedung sekolah, tidak adanya fasilitas belajar, dll adalah masalah utama pendidikan di Indonesia. Kasus infrastruktur ini bisa ditemukan sebanyak 16 kasus setiap bulannya sepanjang tahun 2008. Aku jadi bertanya dalam hati “itu yang bisa ditemukan, bagaimana dengan kasus-kasus yang tidak tampak dan belum ditemukan?” sepertinya bisa lebih dari 16.

Aku berharap pemerintah negeri ini bisa menyadari akan pentingnya pendidikan bagi peradaban sebuah bangsa. Aku juga berharap semoga pemerintah bisa menyadari bahwa negara ini dibangun dari elemen yang paling dasar yakni manusia – yang oleh pelajaran PPKN disebut sebagai “rakyat”. Dengan menyadari hal itu, maka aku yakin pemerintah pasti akan giat membangun kualitas pendidikan bangsa ini. Sibuk memikirkan pembangunan gedung sekolah. Sibuk mencari anak negeri yang belum sekolah dan lalu mengajaknya kembali sekolah, dan sibuk menyediakan buku dan pelayanan terbaik untuk peserta pendidikan.

Fasilitas dan infrastruktur sangat penting bagi proses belajar mengajar. Sama lemahnya seperti samurai tanpa pedangnya, polisi tanpa pistolnya, dan biola tanpa dawainya, begitu pula dengan sekolah tanpa fasilitasnya. Bayangkan, betapa enggannya anak-anak (catat: anak-anak) jika harus sekolah di gedung yang tak beratap, yang jika hujan kehujanan dan jika panas kepanasan. Bayangkan pula betapa paniknya orang tua (catat: orang tua) melepaskan anaknya sekolah di gedung yang tak kokoh, yang setiap saat bisa roboh, hancur menindih anak tercintanya. Lalu demikian, apakah proses belajar bisa efektif? Rasa aman dan nyaman menjadi pertimbangan utama mengapa fasilitas belajar dibutuhkan, selain karena memang fasilitas belajar merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan seutuhnya.

=======

“sekolah gratis, kok mau minta kualitas bagus?” begitu ungkapan beberapa kepala sekolah pada wali murid yang menuntut agar kualitas sekolahnya bisa ditingkatkan. Apakah keliru wali murid yang berbuat demikian? Lalu apa mau pihak pengelola sekolah? Ataukah ini hanya skenario agar sekolah bisa kembali membayar? Bagaimana jika kita membalikkan pertanyaannya menjadi “apa gratis identik dengan jelek?”.

Selalu saja ada alasan agar kualitas pendidikan Indonesia menjadi tidak baik. Mulai dari kualitas guru, fasilitas, biaya, dll. Bahkan ketika satu persatu masalah itu mulai diredam, ada saja “kepentingan-kepentingan pribadi” yang men-dompleng program-programnya.

Fenomena novel laris Laskar Pelangi yang akhirnya difilm-kan itu semestinya bisa menjadi cambuk bagi kita semua, bahwa diluar sana, di daerah pelosok-pelosok negeri ini masih banyak anak-anak yang memiliki semangat besar untuk bisa mengenyam pendidikan. Kita selama ini hanya tahu bahwa pendidikan kita sedang melemah, tanpa kita mau melirik betapa masih banyak “Lintang” di Indonesia ini. Semestinya pemerintah mampu memfasilitasi anak-anak negeri yang ingin maju ini, bukan malah ribut mempermasalahkan tunjangan-tunjangan, ataupun kunjungan kerja di luar negeri.

Kapan negara ini bisa maju jika nasib pendidikannya masih seperti ini? Jika jaman ibuku seperti ini, jika jaman Andrea Hirata seperti ini, jika jamanku seperti ini, jika sekarang pun masih seperti ini, maka aku berharap besok atau lusa tidak seperti ini lagi.

Majulah pendidikan Indonesia.

Label: