Pulau Sejuta Impian (part 1)
Keinginan untuk datang berpetualang ke Karimunjawa memang sudah lama mengendap di ubun-ubun. Bukan hanya dapat informasi dari berbagai tayangan televisi yang menampilkan keindahan alamnya yang membuat ngiler, juga “panas” karena beberapa teman sudah menikmati cantiknya pulau itu.
Kali ini aku harus membayarnya, dengan tenaga, waktu, uang, dan tentunya menyiapkan argumen dengan bos. Biarlah. Toh, jalan-jalan menjadi salah satu sumber inspirasiku untuk berkarya selama ini.
Ketidaktahuanku akan rute, medan, dan biaya membuatku tidak mengajak istriku tercinta. insyaAllah kesempatan kedua aku akan bersamanya. Perjalananku kali ini ditemani oleh partnerku bernama Leo Aswandani. Dikantor, ia dipanggil Leo. Ia tidak tahu menahu tentang pulau Karimun Jawa. Tidak tahu apa-apa bahkan.
Perjalanan kami dimulai dari Bandung.
22 April 2012
Cicaheum menjadi terminal keberangkatan pilihan kami saat itu. Jam 5 sore kami tiba disana. Kami yang(sama-sama) buta naik bus ini pun sekonyong-konyong masuk di Bus bernama Nusantara yang di depan kacanya tertulis “BDG SMG JPR”. Kursinya empuk, bersih, wangi. Jarak antar penumpang pun cukup renggang. Selimutnya tebal dan halus. Sepertinya ini kelas eksekutif. Pasti mahal, pikirku. Biarlah tak apa. Toh tidak ada lagi bus yang menuju Jepara waktu itu.
Kami rebahkan tubuh kami setelah capek berjalan-jalan di kota Bandung. Bus masih sepi. Katanya sih berangkat pukul setengah 7 malam. Kami puas-puaskan diri kami di kursi empuk itu.
Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Satu persatu penumpang datang. Mereka melihat-lihat rak tas diatas tempat duduk sambil melihat kertas bawaannya. Sepertinya mencocokkan sesuatu. Jika dirasa pas, kemudian mereka duduk. Hingga akhirnya ada 2 orang wanita berdiri didepan tempat duduk kami. Seperti tidak percaya, berkali-kali ia melihat kertasnya, dan melihat rak tas diatas kami. Begitu beberapa kali hingga akhirnya orangnya berkata, “mas, ini tempat duduk kami”.
Oh my God, bus ini bertiket. Bergegas kami pergi dari “singgasana” sementara kami saat itu. Sambil menahan rasa malu, kami bertanya pada kondektur, “pak, harus beli tiket dulu ya?”, si kondektur mengangguk sambil melanjutkan nonton bola di ddepannya. Nah, kan benar. Dia menunjuk loket sambil berkata, “belinya disana dik”.
Segera kami berlari menuju keloket bus Nusantara untuk beli tiket, dan parahnya.......tiket habis. Dan bus pun akan segera berangkat. Pupus sudah keinginan kami untuk pergi ke pulau impian kami.
Ditengah lesunya harapan dan badan kami pasalnya tidak ada lagi bus yang berangkat ke Jepara sore itu, tiba-tiba penjual tiket sebelah bilang, “kalau Kramat Jati mau dik? Sama kok ke Jepara. Malah lebih murah. Cuma 85 ribu. Dapat makan”. Seperti baru mendapatkan mukjizat, tiba-tiba kami menjadi 100%. Mata kami terbelalak. Dan tak tahu harus berkata apa, tiba-tiba mulutku nyeletuk “ada kamar mandinya pak?”. “ada” jawabnya.
Yes. Tidak perlu lama-lama segera kubayar orang itu. Aku adalah tipikal orang yang sering ke kamar mandi jika hawa dingin. Begitu pula aku jika berada didalam bioskop.
Kami tidak jadi lesu, juga lemah, atau letih, apalagi loyo (4L). Kami seperti dalam perjalanan bertemu kekasih yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Tidak sabar.
Malam perjalanan itu kami isi dengan berkhayal, saling bercerita tentang indahnya pulau itu, dan bergosip tentang rekan kerja kami-tentunya. hehehe. Mimpi pun tidak lepas dari pulau itu. Aku bermimpi bulan madu bersama istriku disana, sedangkan Leo mimpi buka cabang usaha “bebek setan”-nya disana.
23 April 2012
Kami awali pagi kami dengan berada di terminal bus Jepara. Jam 5 pagi waktu setempat. Jalanan masih sepi. Matahari pun belum terang.
Kami lanjutkan perjalanan kami menuju pelabuhan Jepara dengan naik becak. Ongkosnya 10 ribu.
Kupandangi seisi jalanan yang sepi dan bersih itu. Kubaca satu persatu plang-plang di jalanan. Rumah Sakit Kartini, Koramil Kartini, Jalan Kartini, toko Kartini, Ayam goreng Kartini, Balai Kartini, dan akhirnya pelabuhan Kartini. Semuanya kartini. Kupikir kaya bener orang yang namanya Kartini ini. Dia punya usaha macam-macam di Jepara mulai dari toko sampai pelabuhan semuanya milik Kartini.
Hehehe.
Bukan kawan, Kartini itu tokoh yang sangat disegani oleh bangsa Indonesia. Catatan pribadinya yang bernama “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu yang memacu wanita-wanita Indonesia untuk maju. Dan, Kartini dari Jepara. That’s all. Itulah kenapa, nama Kartini menjadi kebanggaan warga Jepara.
Oke, cukup tentang Kartini. Kembali ke topik perjalananku.
Setengah 6 kami sampai di pelabuhan. Masih sangat sepi. Ada sekitar 6 remaja cowok – cewek yang sepertinya juga mau kesana. Ya iyalah, masa mau ke Bali? Sepertinya mereka semua berpasangan. Buktinya sepasang-sepasang diantara mereka saling mesra. Dan sepertinya pula mereka dari Jakarta. Terlihat dari logatnya. Sudahlah, yang penting mereka ga menggigit, aku merasa aman-aman aja. Apa sih?
Disana juga ada penjual sop ayam yang lebih mirip disebut sebagai soto ayam bening daripada disebut sebagai sop ayam. Kalau masalah rasa, mohon maaf, saya tidak bisa mengakui kelezatan makanan daerah lain selain Surabaya. Di Surabaya makanan komplit, rasanya tak usah diragukan lagi. Mulai dari Rawon Setan, Bebek Setan, Bebek Mercon, Bakso Tuyul, Bakso Kepala Sapi, Bakso Granat, dll. Dari namanya saja sudah ekstrem, apalagi rasanya. Luar biasa ekstrem. Hehehe.
Harga per mangkoknya 7 ribu belum termasuk krupuk atau minum. Supaya lebih afdol infonya, kutambahkan lagi, harga sewa toilet disana 2 ribu. Mau mandi, mau pipis, mau pup, terserah. Sekali masuk 2 ribu. Kebetulan tipe orang sepertiku ini adalah orang yang tidak pernah lepas pup pagi hari, jadi kalau pas pagi ya harus pup. Oya, bagi yang belum tahu, pup itu buang air besar, sedangkan pip itu buang air kecil. Sudah, jangan tanya padaku kenapa namanya begitu. Aku tidak tahu.
Sepertinya aku beruntung saat itu. 1 paket ke kamar mandi (1 paket = pip, pup, mandi) kubayar dengan nol rupiah. Lho kok bisa? Iya, lha wong si penjaganya tidak ada. Aku juga bingung harus bayar ke siapa. Hehehehe
Kakiku sudah gemeretek kepingin segera berangkat ke kapal.
Begitu loket sudah dibuka, segera kubeli tiketnya. Ada 2 pilihan, mau pakai feri (6 jam) atau ekspress (2 jam). Tentunya harganya berbeda. Feri hanya Rp. 28.500 sedangkan ekspress Rp. 69.000. berhubung yang tersedia hari senin saat itu hanya feri, akhirnya kami beli tiket feri.
Feri yang akhirnya kukenal bukan bernama Kartini itu berangkat pukul 9 pagi. Nama kapalnya KM. Muria. Seperti nama sunan yang ada disana.
Sekitar pukul 8, orang-orang sudah mulai masuk ke kapal. Masing-masing mencari tempat yang nyaman. Karena memesan tiket ekonomi, kami akhirnya duduk di dek belakang tanpa jendela. Sebenarnya tidak apa-apa, tapi satu hal yang membuat kami menjadi risih disana: lagu dangdut koplo ala sunatan. Weleh-weleh, orang-orang desa itu bukannya menyajikan pengajian untuk anaknya, malah nyewa orkes dangdut dengan adegan-adegan tidak senonoh itu.
Si Leo tampak menahan mualnya. Katanya sih karena getaran mesin kapal. Aku juga sama, tapi bukan karena getaran mesin, lebih karena lagu dangdut koplo yang kudengar ini. 6 jam saudara! 6 jam aku harus mendengarkan suara yang tak balance antara bass dan treblenya itu. Belum lagi goyangan-goyangan si penyanyi yang kadang membuat mulut harus komat-kamit mengucap “astagfirullah”. Hadehhh. Ya sudah, nikmati saja.
Ujung pulau itu sudah terlihat. Pulau Karimun Jawa. Pulau impianku saat ini. Pulau yang katanya bule “The Last Paradise In The World”. Pulau yang katanya Juned, Luki, Ayos, Giri, dll – teman-temanku yang sudah kesana – sebagai pulau Amazing. Jejingkrak’an aku didalam kapal. Kira-kira setengah jam lagi aku menginjakkan kakiku dipulau itu.
Kegiranganku harus kutahan demi menjaga nama baikku, keluargaku, istriku, tempat kerjaku, dll apalagi saat emosi sudah hampir tidak bisa terkontrol, tiba-tiba ada orang sebelahku menyapaku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Mas Kuntet. Aku sebutkan lagi namanya, siapa tahu aku salah dengar. Aku juga tulis namanya di Hpku, hanya untuk memastikan namanya benar-benar K.U.N.T.E.T.
Dia meng-iya-kan. Ya sudah.
Dia menanyakan, apakah aku ikut paket? Dalam istilah penduduk setempat, paket adalah jasa yang dijual oleh pramuwisata disana yakni berupa makan, tidur, snorkling, foto, jalan-jalan, dan guide. Biasanya 2 hari 3 malam (sabtu – selasa atau jumat - senin). Harganya macam-macam tergantung fasilitas yang diinginkan seperti mau tidur di homestay, atau rumah apung, atau hotel. Mau makan rumahan atau restoran. Mau snorkling bersama orang lain atau sendiri. Dll. Semuanya menentukan besar kecilnya harga. Biasanya paket berkisar antara 500 rb hingga jutaan per orang.
Aku sendiri tidak menggunakan jasa paket. Bisa kok.
Kami tiba disana. Menginjakkan kaki pertamaku disana. Ingin rasanya mengusir orang-orang disekitarku, agar aku bisa meluapkan kegiranganku. Jingkrak-jingkrak sambil teriak ga jelas. Menari-nari sambil bernyanyi lagunya Elo “Masih Ada” atau “I’m yours”-nya Jason Mraz. Keberadaan mereka hanya membuatku menahan itu semua. Lagi-lagi demi nama baik. Nama baik, saudara!
Beruntung mas Kuntet menunjukkan aku medan disana. Dia mengajak kami tinggal di homestay bernama “Prapatan” dengan harga 70 rb per malam. Letaknya memang di perempatan jalan menuju ke kota. Ketika aku bilang “kota”, Jangan bayangkan kota seperti Jakarta atau Surabaya dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi ya. Itu hanya sebutan orang setempat untuk daerah dengan fasilitas kantor-kantor pemerintahan, bank, dan beberapa toko.
Pemilik homestay Prapatan ini adalah sepasang kakek-nenek yang tampak senang ketika kami datang. Keduanya langsung sibuk menyiapkan kamar. Si bapak memastikan kamar dalam kondisi bersih. Si ibu memasakkan air panas untuk kami, lalu menyajikannya bersama dengan teh celup, kopi, dan gula. Untuk menikmati itu semua, kami harus meraciknya sendiri.
Mas Kuntet juga menawarkan aku untuk ikut snorkling bersama orang-orang yang memang sudah beli paketan. Harganya 130 rb per orang. Hanya 1 hari saja dari jam 9 sampai jam 6 sore (sunset). Sudah termasuk guide dan makan siang.
Kami deal.
Sore itu kami isi dengan berkeliling pulau dengan motor Mio yang ditawarkan oleh si kakek. Semoga si Mio ini tidak mudah meledak-ledak seperti yang sering kutemui di Surabaya. Hehehe.
Kami melihat ada alun-alun, ada homestay yang berjajar sepanjang jalan, ada beberapa kantor pemerintahan, ada sekolah SD, SMP, SMK, dan Madrasah Ibtidaiyah. Ada pula nelayan-nelayan yang sepertinya baru datang dari melaut. Bawaannya cukup banyak, bergentong-gentong ikan laut. Ada juga orang Cina dari Surabaya yang mau Prewed disana. Orangnya ramah. Kebahagiaan tampak jelas dimukanya. Mau nikah kali, makanya kayak gitu. Hehehe.
Warung makan disana cuma 1. Jenisnya warung Prasmanan. Ada di pinggir alun-alun. Pemiliknya orang sunda yang sering marah-marah ke pegawainya. “hei kau, masa dandan lebih dari 1 jam. Ini ada orang mau makan, layani!” katanya sambil teriak ke gadis dibalik kamar. Si pemilik sendiri adalah pria berumur sekitar 38 tahunan. Berperawakan tegap seperti ABRI apalagi potongan rambutnya cepak. Mas Kuntet bilang, warung ini paling laris. Setiap hari tidak pernah sepi (ya iyalah, cuma 1 doang!) lalu bilang juga kalau si bapak itu belum nikah. So what gitu loh mas? Ini kok malah jadi bergosip ria. Hehehe
Makanan disana berkisar antara 8ribu hingga 10 ribu. Makanan rumahan. Tidak apa yang penting bisa makan. Hehehe
Malam hari kami gunakan untuk ngobrol-ngobrol dengan mas Kuntet tentang pulau Karimunjawa. Katanya, pulau nan mempesona ini telah banyak dikunjungi turis-turis dari berbagai penjuru dunia. Kebanyakan mereka ingin melakukan survei tentang kehidupan bawah laut. Mas Kuntet juga bercerita pada kami tentang pengalaman-pengalamannya selama menjadi guide di pulau itu. Ada yang lucu, ada yang menyedihkan, ada pula yang bikin jengkel.
Sisa malam itu kami gunakan untuk berbelanja oleh-oleh di depan penginapan kami. Beberapa toko souvenir berjajar disana. Toko-toko itu menjual aneka macam kerajinan dari bahan laut, kaos, dll. Tidak perlu kuatir, harganya murah-murah kok. Baju ukuran dewasa hanya 40 ribu saja. Hampir sama seperti harga baju di pulau Jawa. Dan pilihanku jatuh pada gambar kura-kura diatas tulisan “Karimun Jawa” warna ungu. Aku beli 3 untuk teman-teman kerjaku di Surabaya.
Label: pariwisata
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda