Jumat, 17 April 2009

gombal TV




pingin tahu kebusukan TV. lihat aj. semakin banyak tayangan TV Indonesia yang semakin tidak bermutu. aku prihatin. dan biarlah desain ini menjadi wujud keprihatinanku ini.

Gombal = kain lap yang kotor dan tak berguna. sama kayak tayangan Televisi kita yang semakin tak berguna dan tak bermanfaat.

semoga masyarakat bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk

Label:

Kamis, 09 April 2009

pagi




Pagi yang cerah. Sudah lama aku tak menghiraukan cerahnya pagi seperti ini. Subhanallah, langit diatas sana berubah warna. Dari hitam menjadi merah, lalu biru, lalu terang benderang. Aku menjadi saksi keagunganMu ya Tuhan atas pergantian malam menjadi pagi ini.


Usai shubuh pagi ini, mumpung libur, aku berencana untuk berolahraga. Kaki ini terus melangkah hingga terhenti di sebuah sungai. Disana aku tertegun melihat pagi. Pagi yang segar tanpa polusi. Pagi yang hening tanpa keributan. Sungguh pagi yang indah.
Langit itu, tak seperti manusia, selalu mentaati perintahMu wahai Tuhan. Ia beredar menurut garis yang sudah Kau tentukan. Ia bersinar sesuai yang Kau perintahkan. Setiap hari, setiap pagi, ia berjalan, selalu dan selalu, tiada henti. Itulah wujud pengabdiannya padaMu. Sementara kami, manusia, selalu membangkang atas apa yang Kau perintahkan.


Langit itu, tak seperti manusia, selalu memberikan cahaya terbaiknya. Bukan untuk dirinya, tapi untuk makhluk yang lain yang terkadang sering meludahinya dengan asap tebal – asap dari corong-corong pabrik dan kepulan mulut orang-orang yang membakar uang dan paru-parunya dengan rokok. Sementara kami ? kami enggan melakukan sesuatu jika sesuatu itu tidak memberikan manfaat bagi kami. Sejuta rumus untung dan rugi akan kami ajukan demi mempertimbangkan pantaskah kami melakukan sesuatu demi orang lain. Sungguh egois kami ini.


Terkadang kami bergurau atas ayat-ayatMu. Terkadang kami melupakan sholat yang sudah menjadi perintahMu. Kami pun sering mengabaikan panggilan adzanMu yang luarbiasa indahnya itu. Lalu kami pun tersungkur, menangis, atas kesalahan yang kami buat. Namun… tak perlu satu hari, tak lama setelah kami menangis, kami pun tertawa kembali. Bahkan menertawakan kenapa kami harus menangis.


Pagi, darinya aku belajar tentang sebuah pengabdian yang tinggi. Sebuah penghormatan atas kuasa Illahi.


Pagi, darinya aku belajar tentang sebuah kerja keras tanpa lelah. Sebuah ke-istiqamah-an yang luar biasa tanpa berhenti. Sebuah keikhlasan untuk memberi tanpa keinginan untuk mendapatkan kembali.


Kawan, jika esok masih ada pagi. Semoga Allah memberi kita kesempatan untuk menemuinya. Maka kawan, jika kesempatan itu ada, jangan sia-siakan pertemuanmu dengan pagi. Jangan biarkan pagi berlalu tanpa memberimu makna sedikitpun.

Label:

Rabu, 01 April 2009

Ada Tuhan Di Tangan Yang Bergetar (part 2)

Sebuah fenomena baru lahir dari sebuah mesin kecil berukuran tak lebih dari 30 cm x 30 cm. Sebuah mesin yang menyita perhatian anak-anak saat ini. Peradaban pun berganti. Tak ada lagi tertawa riang anak-anak berlari mengejar layang-layang. Tidak ada pula ketegangan di permainan petak umpet. Apalagi bermain patel lele. Jangan pernah berharap melihat anak-anak bermain lempung. Tidak ada yang tertarik menangkap kupu-kupu. Semuanya telah musnah.


Play Station. Tidak ada anak-anak yang tahu kenapa mesin itu dibuat. Play Station di negeri empunya, Jepang, adalah alat yang sangat ampuh untuk mengurangi angka bunuh diri di Jepang. Jepang memang terkenal dengan budaya harakiri atau budaya bunuh diri. Merasa sedikit tertekan, orang Jepang akan melakukan bunuh diri, termasuk anak-anak. Jika anak merasa tertekan seperti di ejek kawannya, atau mendapatkan nilai jelek saat ujian, mereka akan hara-kiri entah menusuk pisau di perutnya, atau lompat dari gedung sekolah.


Pemerintah Jepang sangat sadar, kondisi ini tidak akan mungkin bisa diteruskan. Maka dari itu pemerintah berpikir tentang bagaimana caranya agar menghentikan kondisi ini dengan mengalihkan masalah anak-anak dengan hal lain. Akhirnya terpikirlah untuk membuat game, dan salah satunya adalah Play Station.


Play Station terbukti sangat ampuh untuk mengurangi dan menekan angka bunuh diri. Maka dari itu dunia Play Station semakin dikembangkan. Perkembangan Play Station boleh dibilang cukup pesat. Bukan hanya dipermainannya saja, namun juga Play Station telah membumi. Hampir disetiap negara mengenal Play Station.


Jadi pada hakikatnya, Jepang masih menjadikan belajar dan bekerja sebagai hal yang utama, sedangkan bermain adalah hal sampingan. Namun tidak bagi Indonesia. Justru fenomenanya, Play Station malah dijadikan sebagai hal yang utama, sedangkan belajar dan bekerja menjadi hal yang nomer kesekian. Tiap senang mengingat Play Station dan sedih pun ingat Play Station. Kala senggang bermain Play Station, sibuk pun karena sibuk bermain Play Station. Sebuah fenomena yang aneh bukan?


Jadi, jangan pernah bertanya pada anak-anak jaman sekarang tentang permainan tradisional layaknya yang pernah kita mainkan waktu kecil. Mereka sudah menghilangkan itu semua. Dan jaman pun menjadi menepi, ketika sebuah kebudayaan baru telah menggantikan kebudayaan lama. Tunggu saja, ketika kita meninggal, maka sudah tak ada lagi kata-kata petak umpet, patel lele, dakon, bekel, mobil kardus, truk lempung, mobil jeruk, bermain layangan , gobaksodor, dll. Adik-adik kita dan anak-anak kita telah mengubur dengan rapat budaya kita itu.


Sebenarnya ada nilai edukasi yang sangat tinggi di dalam permainan tradisonal. Anak-anak diajarkan kreatif (apa namanya kalau bukan kreatif, membuat truk dari kardus atau bungkus rokok?), teamwork (seperti bermain di benteng-bentengan), ketelitian, dll. Dan jika ini semua di hilangkan, maka jangan pernah berharap generassi kita selanjutnya akan menjadi anak-anak yang cerdas dan kreatif?


Lalu apa yang diajarkan oleh game Play Station itu?


Game ini hanya membuat anak berpikir instan. Karakter-karakter atau tokoh dalam permainan sudah tersedia oleh mesin, sehingga anak tidak perlu repot lagi membuat karakter baru. Ini akan membuat anak tidak mau berpikir repot. Padahal dalam kehidupan nyata, tidak ada sesuatu yang bisa didapatkan dengan instan. Jika ini akan menjadi sebuah kepribadian dalam diri anak, maka lebih baik kita berdoa saja agar anak tidak tumbuh sebagai seorang kriminal - yang tidak mau bekerja namun ingin kaya.


Game ini juga akan membuat anak selalu ingin menang sendiri dan untuk mendapatkan kemenangan itu, ia harus menghancurkan lawannya. Segala hal akan dihalalkan bagi anak untuk memenangkan permainan itu. Ini akan sangat bertentangan dengan kehidupan nyata karena dalam kehidupan nyata, orang yang sukses adalah orang yang bisa mensukseskan orang lain. Banyak kisah orang sukses yang mengatakan bahwa seorang pemimpin terbaik (orang sukses) adalah pelayan kelas wahid. Terkadang seseorang harus kalah terlebih dahulu sebelum ia menjadi pemenang yang sejati.


Game ini membuat anak tidak mampu berpikir kreatif. Masih berhubungan dengan 2 poin diatas, maka anak tidak mau berusaha untuk mendapatkan keinginannya. Yang ada dibenaknya adalah aku harus menang, akau harus menang, aku harus menang. Mereka melupakan satu hal, PROSES. Dalam proses itulah diri kita akan dilebur untuk menjadi pemenang yang sejati. Dan dalam proses itulah kita dituntut kreatif untuk membuat keputusan yang cepat dan tepat.


Satu hal yang sangat penting dan paling krusial adalah, mereka telah melupakan Tuhan. Sekiranya, Tuhan adalah Dzat yang kita puja dan kita ingat sepanjang waktu kita. Dia-lah yang telah menciptakan kita, maka sudah selayaknya kita mencintaiNya dengan setinggi-tingginya cinta, dan sudah selayaknya pula kita menghormatiNya dengan setinggi-tingginya penghormatan. MenyembahNya dengan setinggi-tingginya persembahan. Me-nomersatu-kanNya diatas segalanya.


Mencintai sesuatu melebihi cinta padaNya merupakan satu bentuk pengkhianatan cinta padaNya. Di agama islam, hal ini dianggap telah menyalahi janji syahadatNya yang mengatakan bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah. Jika memang Tuhan berarti cinta yang tertinggi, penghormatan tertinggi, dan persembahan yang tertinggi, maka mencintai Play Station ini bisa dikatakan sebagai men-Tuhan-kan Play Station. Batal-lah sudah syahadatnya.


“Tapi mereka kan masih anak-anak?”


Sebagian orang mengatakan demikian. Apakah kita masih menawar dengan segala bentuk ketidak benaran? Jika kita terbiasa membiarkan kesalahan-kesalahan kecil, maka nantinya kita akan membiarkan kesalahan-kesalahan besar. Kata pepatah bijak, kita jarang jatuh dengan batu besar, tetapi kita sering jatuh terpeleset oleh kerikil-kerikil kecil.


Jika masa kecil yang sedianya masa yang sangat bagus untuk ditanami ilmu, maupun ideologi apapun, maka bagaimana nasib mereka dimasa yang akan datang? Apakah kita rela jika suatu saat negara kita ini dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan? Lalu apa bedanya dengan negara-negara komunis?


_ _ _


Play Station, sebuah fenomena baru disurabaya. Hampir disetiap anak kecil memilikinya. Persewaan Play Station pun merebak dimana-mana. Masih banyak pak Nanang – pak Nanang yang lain disetiap daerah disurabaya. Bahkan, demi melihat sebuah peluang yang luar biasa ini, Pak Ari yang rumahnya didekat rumah Diki akan membuka usaha yang sama demi mengisi waktu pensiunnya.


Play Station, sebuah fenomena baru disurabaya. Anak-anak merengek-rengek pada orang tua untuk dibelikannya. Bahkan motivasi belajar anak yang seharusnya dititikkan pada masa depan si anak, berganti menjadi untuk dibelikan Play Station. Uang hasil khitan pun yang biasanya digunakan untuk membeli sepeda, digunakan untuk membeli Play Station.


Sebegitu besar euforia Play Station di kalangan anak-anak, dan sebegitu buruknya dampak bagi si anak baik dari sisi agama maupun dari sisi psikologi, membuat orangtua sepatutnya mengontrol anak, karena masa depan anak akan menjadi taruhannya. Jika sebuah bangsa dibangun atas elemen terkecilnya yaitu keluarga, dan keluarga terdiri dari individu-individu, maka apakah kita akan membiarkan bangsa kita terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki kepribadian yang baik dan (parahnya) tidak memiliki kepercayaan yang kuat atas Tuhan?
Wallahualam bishawab

Label:

Ada Tuhan Di Tangan Yang Bergetar (part 1)

Saat pulang sekolah. Saat yang paling ditunggu oleh Diki. Siang itu bagi sebagian besar orang, adalah hari yang panas, namun tidak bagi Diki. Ia bergegas pulang, makan, lalu menuju ke tempat favoritnya di ujung gang sebelah. Tempat itu milik Pak Nanang, berisi sekumpulan TV dan mesin yang dihubungkan dengan kabel dibawahnya. “Nanang PS rental” nama tempat itu.


Bergerombol anak datang kesana. Riuh. Gaduh. Ramai ala anak-anak. Tak mau kalah dengan anak-anak itu, si Diki pun ikut nimbrung disana. Saat itu jam 2 siang, 2 jam setelah ia pulang sekolah. Ia pun masuk dalam daftar antrian untuk menikmati satu permainan yang katanya bisa membuat orang mabuk kepayang. Beruntung saat itu antriannya tidak terlalu panjang, jadi jam 4 sore ia bisa menyewa mesin PS itu. Biasanya jam 6 sore ia baru bisa mendapatkan gilirannya.


Setelah menyerahkan sejumlah uang ke Pak Nanang, Diki pun mulai beraksi. IT’S DIKI TIME.


Ia pun mulai beraksi. Mengambil kaset CD yang bertuliskan “tekken”. Rupanya ia ingin bertarung didunia maya. Tidak nyata. Namun ia senang memainkannya. Dia tidak sendiri, ia mengajak Prabowo. Mereka memang kawan sekaligus lawan yang baik dalam hal ini. Namun kali ini pertarungan mereka bukan sekedar pertarungan. Lebih dari itu, mereka sedang bertaruh. Dan kali ini bukan sekedar pertaruhan biasa. Pertaruhan masa depan, kata mereka. Ini semua demi Nadia dan harga diri.


Rupa-rupanya ini adalah pertaruhan demi mendapatkan Nadia, teman sekelasnya di salah satu SMP negeri di Surabaya. Nadia memang cewek idaman disekolahnya. Parasnya yang cantik dan otaknya yang encer selalu membuat kaum adam yang melihatnya ingin selalu dekat dan bahkan memilikinya. Nadia memang pantas untuk diperebutkan. Memiliki Nadia berarti sebuah kehormatan yang luar biasa, pasalnya Nadia memang sulit untuk ditaklukan. Dan kalah dalam pertaruhan mendapatkan Nadia berarti menggadaikan harga diri dengan harga yang sangat rendah.


Diki memilih Edi karena Diki tertarik dengan gaya sambanya. Dia memang Sambamania. Sedangkan Prabowo, dia terobsesi dengan Mike Tyson, petinju legendaris berkulit hitam itu, makanya dia memilih Paul yang memiliki ajian mumpung pukulan maut yang bisa menghabiskan darah hingga 50 %. Sekali hantam dan mengenai lawan, maka bups, hancurlah si lawan.


Mereka pun “bertarung” di bidang layar datar 14 inch. Mata mereka tak lepas dari TV bermerk Panasonic itu. Sedangkan tangan mereka dengan asik dan lincahnya memainkan joystick dari mesin yang bernama PS itu.


Mereka sepakat mereka akan bertarung sebanyak 5 kali. Siapa saja yang bisa memenangkan pertarungan hingga 3 kali, maka dialah yang menang.


Demi memenangkan pertaruhan ini, mereka pun latihan beberapa kali. Inilah saatnya. Saat menunjukkan harga diri. Harga diri yang bisa diperoleh dengan mendapatkan Nadia.


Stik mereka tak henti bergetar seiring dengan pukulan yang dilayangkan lawan pada pemainnya. Si Paul memukul Edi, dan Edi pun mendaratkan tendangan mautnya ke muka Paul. Bergetarnya stik berarti pemain mereka telah terkena pukulan atau tendangan lawan. Permainan semakin seru karena selain memukul, mereka juga punya jurus-jurus untuk menghindar dari lawan. Maka pertarungan ini lebih dari sekedar memukul dan menendang, namun juga strategi. Strategi bagaimana caranya mendapatkan saat dimana musuh lengah. Sekali lengah, itulah saat yang tepat memukul lawan.


Edi yang biasanya menendang keatas, membuat Paul hanya melindungi bagian kepala saja. Saat itulah, saat yang tepat bagi si Edi untuk menendang bagian kaki si Paul. Paul pun jatuh, dan bergetarlah stik Prabowo.


Prabowo pun geram, ia semakin serius. Paul melompat melewati si Edi. Dari arah belakang, Paul memukul Edi dengan full power. Maka habislah riwayat si Edi. Babak ini pun (kembali) dimenangkan oleh Prabowo. Itu adalah kemenangan kedua Prabowo setelah kalah 2 babak dengan Diki. Saat ini skor mereka sama 2 – 2. Dan saatnya babak terakhir.


Tak mau tertipu dengan trik-trik sebelumnya, mata mereka jauh lebih waspada menatap layar TV itu. Ini adalah babak penentuan siapa yang lebih unggul. Bayangan wajah Nadia terlintas di benak Diki, seolah-olah Nadia duduk dipinggir arena dan menyoraki dirinya. “ayo kang Diki, berjuanglah, demi adinda…..jangan kalah” barangkali itu teriakan Nadia dalam pikiran Diki.


Setelah sekian lama bertahan dari serangan-serangan lawan, akhirnya pertarungan pun dimenangkan oleh Diki. Ah, Diki pun senang, sesenang Pak Nanang karena waktu sewa mereka sudah habis. Ini berarti giliran yang lain menggantikan Diki dan Prabowo, dan berarti pak Nanang menerima uang sewa lagi, 2 ribu per jamnya. Kata Robert T. Kiyosaki, usaha Pak Nanang ini adalah program dimana uang bekerja untuk kita. Pak Nanang tidak perlu bekerja untuk mendapatkan uang. Cukup duduk saja dibalik sebuah meja kecil dengan laci dibawahnya, tempat menaruh duit.


Tak terasa, jam dinding di rumah pak Nanang menunjukkan pukul 8 malam. Saatnya Diki pulang. Baru jam segitu si Diki merasakan lapar menyerang perutnya. Permainan Play Station yang oleh banyak orang diubah menjadi ple setan itu telah menyihir Diki untuk tidak memperhatikan cacing diperutnya. Dia tak mampu lagi merasakan lapar.
Seperti biasa, sesampainya dirumah, amarah ibu pun menunggunya disana. Si ibu telah menyiapkan berbagai hal untuk dijadikan bahan marah, biasanya dimulai dengan “dari mana saja kamu?”, lalu dilanjutkan dengan “apa kamu sudah belajar”, “dasar anak tak berguna, bisanya cuma main aja”, “apa kamu tidak tahu, orang tua kerja keras seperti apa?”. Bagi Diki, ini adalah sebuah hal yang biasa, untuk itu ia hanya mencibirkan bibirnya kesamping. ia tak peduli pada ibunya. Dibenaknya hanya ada Nadia, Nadia, dan Nadia. Diki tak sabar menunggu besok, karena besok adalah hari dimana Diki bisa dengan bebas “menembak” Nadia.


_ _ _


Ternyata hari yang indah itu tak seindah yang dibayangkan. Penembakan Diki ditolak mentah-mentah oleh Nadia. Hari itu rasanya bagai hari yang suram bagi dia. Ditolak Nadia berarti pupuslah sudah harga dirinya.


Setelah bernegosiasi dengan dirinya sendiri, bahwa cewek didunia ini tak hanya Nadia, selanjutnya ia tersenyum. Senyumnya itu lebih mirip dengan menghibur diri sendiri. Senyum itu menandakan kalau ia telah menemukan sesuatu. Dan sesuatu itu, tidak lain tidak bukan adalah “Nanang PS rental”. Sepertinya, tak apalah jika ditolak Nadia, toh Diki masih bisa main PS.


Dan Diki pun bergegas ke ujung gang sebelah rumahnya. PS - Play Station, sebuah benda yang sanggup membuat Diki tersenyum kembali. Benda itu pulalah yang mengisi setiap hari-hari si Diki.

Label: