Sebuah fenomena baru lahir dari sebuah mesin kecil berukuran tak lebih dari 30 cm x 30 cm. Sebuah mesin yang menyita perhatian anak-anak saat ini. Peradaban pun berganti. Tak ada lagi tertawa riang anak-anak berlari mengejar layang-layang. Tidak ada pula ketegangan di permainan petak umpet. Apalagi bermain patel lele. Jangan pernah berharap melihat anak-anak bermain lempung. Tidak ada yang tertarik menangkap kupu-kupu. Semuanya telah musnah.
Play Station. Tidak ada anak-anak yang tahu kenapa mesin itu dibuat. Play Station di negeri empunya, Jepang, adalah alat yang sangat ampuh untuk mengurangi angka bunuh diri di Jepang. Jepang memang terkenal dengan budaya harakiri atau budaya bunuh diri. Merasa sedikit tertekan, orang Jepang akan melakukan bunuh diri, termasuk anak-anak. Jika anak merasa tertekan seperti di ejek kawannya, atau mendapatkan nilai jelek saat ujian, mereka akan hara-kiri entah menusuk pisau di perutnya, atau lompat dari gedung sekolah.
Pemerintah Jepang sangat sadar, kondisi ini tidak akan mungkin bisa diteruskan. Maka dari itu pemerintah berpikir tentang bagaimana caranya agar menghentikan kondisi ini dengan mengalihkan masalah anak-anak dengan hal lain. Akhirnya terpikirlah untuk membuat game, dan salah satunya adalah Play Station.
Play Station terbukti sangat ampuh untuk mengurangi dan menekan angka bunuh diri. Maka dari itu dunia Play Station semakin dikembangkan. Perkembangan Play Station boleh dibilang cukup pesat. Bukan hanya dipermainannya saja, namun juga Play Station telah membumi. Hampir disetiap negara mengenal Play Station.
Jadi pada hakikatnya, Jepang masih menjadikan belajar dan bekerja sebagai hal yang utama, sedangkan bermain adalah hal sampingan. Namun tidak bagi Indonesia. Justru fenomenanya, Play Station malah dijadikan sebagai hal yang utama, sedangkan belajar dan bekerja menjadi hal yang nomer kesekian. Tiap senang mengingat Play Station dan sedih pun ingat Play Station. Kala senggang bermain Play Station, sibuk pun karena sibuk bermain Play Station. Sebuah fenomena yang aneh bukan?
Jadi, jangan pernah bertanya pada anak-anak jaman sekarang tentang permainan tradisional layaknya yang pernah kita mainkan waktu kecil. Mereka sudah menghilangkan itu semua. Dan jaman pun menjadi menepi, ketika sebuah kebudayaan baru telah menggantikan kebudayaan lama. Tunggu saja, ketika kita meninggal, maka sudah tak ada lagi kata-kata petak umpet, patel lele, dakon, bekel, mobil kardus, truk lempung, mobil jeruk, bermain layangan , gobaksodor, dll. Adik-adik kita dan anak-anak kita telah mengubur dengan rapat budaya kita itu.
Sebenarnya ada nilai edukasi yang sangat tinggi di dalam permainan tradisonal. Anak-anak diajarkan kreatif (apa namanya kalau bukan kreatif, membuat truk dari kardus atau bungkus rokok?), teamwork (seperti bermain di benteng-bentengan), ketelitian, dll. Dan jika ini semua di hilangkan, maka jangan pernah berharap generassi kita selanjutnya akan menjadi anak-anak yang cerdas dan kreatif?
Lalu apa yang diajarkan oleh game Play Station itu?
Game ini hanya membuat anak berpikir instan. Karakter-karakter atau tokoh dalam permainan sudah tersedia oleh mesin, sehingga anak tidak perlu repot lagi membuat karakter baru. Ini akan membuat anak tidak mau berpikir repot. Padahal dalam kehidupan nyata, tidak ada sesuatu yang bisa didapatkan dengan instan. Jika ini akan menjadi sebuah kepribadian dalam diri anak, maka lebih baik kita berdoa saja agar anak tidak tumbuh sebagai seorang kriminal - yang tidak mau bekerja namun ingin kaya.
Game ini juga akan membuat anak selalu ingin menang sendiri dan untuk mendapatkan kemenangan itu, ia harus menghancurkan lawannya. Segala hal akan dihalalkan bagi anak untuk memenangkan permainan itu. Ini akan sangat bertentangan dengan kehidupan nyata karena dalam kehidupan nyata, orang yang sukses adalah orang yang bisa mensukseskan orang lain. Banyak kisah orang sukses yang mengatakan bahwa seorang pemimpin terbaik (orang sukses) adalah pelayan kelas wahid. Terkadang seseorang harus kalah terlebih dahulu sebelum ia menjadi pemenang yang sejati.
Game ini membuat anak tidak mampu berpikir kreatif. Masih berhubungan dengan 2 poin diatas, maka anak tidak mau berusaha untuk mendapatkan keinginannya. Yang ada dibenaknya adalah aku harus menang, akau harus menang, aku harus menang. Mereka melupakan satu hal, PROSES. Dalam proses itulah diri kita akan dilebur untuk menjadi pemenang yang sejati. Dan dalam proses itulah kita dituntut kreatif untuk membuat keputusan yang cepat dan tepat.
Satu hal yang sangat penting dan paling krusial adalah, mereka telah melupakan Tuhan. Sekiranya, Tuhan adalah Dzat yang kita puja dan kita ingat sepanjang waktu kita. Dia-lah yang telah menciptakan kita, maka sudah selayaknya kita mencintaiNya dengan setinggi-tingginya cinta, dan sudah selayaknya pula kita menghormatiNya dengan setinggi-tingginya penghormatan. MenyembahNya dengan setinggi-tingginya persembahan. Me-nomersatu-kanNya diatas segalanya.
Mencintai sesuatu melebihi cinta padaNya merupakan satu bentuk pengkhianatan cinta padaNya. Di agama islam, hal ini dianggap telah menyalahi janji syahadatNya yang mengatakan bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah. Jika memang Tuhan berarti cinta yang tertinggi, penghormatan tertinggi, dan persembahan yang tertinggi, maka mencintai Play Station ini bisa dikatakan sebagai men-Tuhan-kan Play Station. Batal-lah sudah syahadatnya.
“Tapi mereka kan masih anak-anak?”
Sebagian orang mengatakan demikian. Apakah kita masih menawar dengan segala bentuk ketidak benaran? Jika kita terbiasa membiarkan kesalahan-kesalahan kecil, maka nantinya kita akan membiarkan kesalahan-kesalahan besar. Kata pepatah bijak, kita jarang jatuh dengan batu besar, tetapi kita sering jatuh terpeleset oleh kerikil-kerikil kecil.
Jika masa kecil yang sedianya masa yang sangat bagus untuk ditanami ilmu, maupun ideologi apapun, maka bagaimana nasib mereka dimasa yang akan datang? Apakah kita rela jika suatu saat negara kita ini dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan? Lalu apa bedanya dengan negara-negara komunis?
_ _ _
Play Station, sebuah fenomena baru disurabaya. Hampir disetiap anak kecil memilikinya. Persewaan Play Station pun merebak dimana-mana. Masih banyak pak Nanang – pak Nanang yang lain disetiap daerah disurabaya. Bahkan, demi melihat sebuah peluang yang luar biasa ini, Pak Ari yang rumahnya didekat rumah Diki akan membuka usaha yang sama demi mengisi waktu pensiunnya.
Play Station, sebuah fenomena baru disurabaya. Anak-anak merengek-rengek pada orang tua untuk dibelikannya. Bahkan motivasi belajar anak yang seharusnya dititikkan pada masa depan si anak, berganti menjadi untuk dibelikan Play Station. Uang hasil khitan pun yang biasanya digunakan untuk membeli sepeda, digunakan untuk membeli Play Station.
Sebegitu besar euforia Play Station di kalangan anak-anak, dan sebegitu buruknya dampak bagi si anak baik dari sisi agama maupun dari sisi psikologi, membuat orangtua sepatutnya mengontrol anak, karena masa depan anak akan menjadi taruhannya. Jika sebuah bangsa dibangun atas elemen terkecilnya yaitu keluarga, dan keluarga terdiri dari individu-individu, maka apakah kita akan membiarkan bangsa kita terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki kepribadian yang baik dan (parahnya) tidak memiliki kepercayaan yang kuat atas Tuhan?
Wallahualam bishawab
Label: seputar kita