Minggu, 29 Juni 2008

heaven on the planet

Tadabbur Alam day 5:”Heaven on the Planet”
Sabtu, 21 Juni 2008

Hatiku sudah sangat orgasme ingin melihat suku asli lombok, sasak.
Om bilang ada di dusun sade. Katanya, disana terdapat kebudayaan asli lombok. Pemerintash setempat memang sengaja melestarikannya, tapi tempatnya sangat jauh dari tempat kami. Kami disarankan ke Balai Bele saja.
Hmmm.., ya sudahlah, padahal, ketika om cerita tentang dusun Sade, aku ngiler pingin kesana loh. Ya sudah, mungkin lain kali aku akan kesana.

Kami berangkat ke Balai Bele. Waktu itu pukul 10 WITA di temani wawan dan Ika.

Dalam perjalanan, kami bertemu dengan upacara pernikahan adat setempat namanya NYONGKOLAN. Mereka (kedua mempelai) diarak dipinggir jalan. Aku tak mengerti maksudnya. Di barisan akhir, terdapat sekelompok pemain musik asli Lombok. Bunyinya seperti musik bali. Rancak, namun berirama. Keren habis untuk didengar.




Setelah menempuh sekian km perjalanan yang cukup jauh ini, akhirnya sampai pula kami di Balai Bele.
Balai bele sendiri merupakan satu peninggalan sejarah dari pulau Lombok yang berupa rumah asli suku sasak. Rumah ini terdapat didaerah JeroWaru.

Jerowaru sendiri, menurut keyakinan penduduk setempat berarti kota lama, atau kota dulu, yang artinya kota yang pertama kali ada di lombok ini, jauh sebelum mataram ada.
Ada pula yang mengatakan jerowaru berarti kota perempuan berambut panjang. Di kepala dusun setempat menyimpat segumpal rambut yang sebenarnya rambut itu sendiri hanya satu helai. Oleh karena rambut itu panjang sekali, lalu di gulung-gulung sehingga menjadi segumpal saja. Rambut itu disimpan dalam kantong yang terbuat dari kain. Ketika aku minta ditunjukkan benda itu, kepala dusun menolak dengan alasan, setiap orang yang habis melihat rambut itu, pasti meninggal. Ah, pikirku, jauh ketika aku dilahirkan di muka bumi ini, aku pun pasti meninggal. Tapi sudahlah.





Setelah hampir selesai, si empunya daerah sana mengatakan jika kita meneruskan perjalanan, maka kita akan bisa menikmati indahnya pantai surga. Waduh dari namanya saja aku jadi penasaran, seperti apa tempat itu.
NAH, INI DIA NIH YANG MEMBUATKU PALING MERASA TAKJUB…….
HEAVEN ON THE PLANET.

Tempat ini jauh ke selatan dar Jerowaru. Dari sana, lurus saja, hingga kamu menemukan pertigaan yang ada plang “heaven on the planet” berikut tanda panahnya, kamu belok kanan. Heaven on the planet sendiri tak lain hanyalah pantai yang oleh penduduk setempat disebut sebagai pantai surga. Tak banyak orang yang tahu. Bahkan Safarudin sekalipun yang asli lombok tidak tahu apa itu pantai surga.

Setelah belok kanan, mulailah petualangan kita menuju ke pantai itu. Kita akan menaik-turuni bukit-bukit. Hingga ke tempat tujuan aku sudah tak mampu lagi menghitung berapa bukit yang sudah kami lalui.

Memang benar filosofi hidup ini, jika kita menginginkan surga, maka jalanannya sangatlah terjal. Kata orang Malaysia, penuh onak dan berduri. Perjalanan melewari bukit ini bukanlah hal yang mudah. Akses jalan kesana sangat rusak dan sempit, kira2 selebar mobil avanza. Sebelah kanan dan kiri jalan sudah jurang, yang walaupun tidak terlalu dalam, tapi bonyok juga kalo kita sampai jatuh kesana. Batu-batuannya sangat keras.

Jauh sekali kita menjuju kesana, dan sangat jauh kita baru menemukan orang yang menjual bensin eceran. Dan tak satupun kami menemukan tambal ban, jadi…..jangan sampai ban motor atau mobil kita rusak disana, atau jangan sampai kita kehabisan bensin. Siap-siap saja dorong naik turun bukit.

Hampir sampai, dan wouw….surprise di kanan dan kiriku ternyata ada banyak sekali rumah suku asli sasak. Nah ni dia nih yang aku cari. Bukan hanya sekedar rumah, tapi masyarakatnya, Pola kehidupannya yang masih primitive, itu yang aku cari.

Suku ini benar-benar terasingkan. Jauh sekali dari hangar bingar kota. Tidak tersentuh oleh peradaban sama sekali. Kehidupan mereka pun sangat sederhana. Makan dan minum hasil dari kebun dan peternakan mereka. Ketika aku tersenyum pada mereka, mereka pun membalas senyum kami. Tampak sekali gigi-giginya yang masih kotor bekas kopi itu. Ah lucu sekali. Kulitnya yang kering semakin mempertegas keoriginalan suku yang tinggal disana. Benar-benar alami.

Rumah mereka terbuat dari kayu-kayu dan dedaunan yang disatukan dengan akar-akar atau serat kelapa. Very nature. Sungguh melihat kondisi ini, menguatkan keyakinanku bahwa kita pun berasal dari suku yang (mungkin) lebih primitive dari ini. Dan semakin meyakinkanku bahwa dengan belajar, maka kita bisa mengubah peradaban.

Jauh kami meneruskan perjalanan, hingga tak terasa, capek juga tubuh ini, terutama bokongku yang dari tadi duduk di motor. Kami beristirahat sejenak. Tiba-tiba angin semilir menyapa kami. Kata mas tofik, ini adalah angina pantai. Byur, terdengar lirih suara ombak, lalu kami mengintip dibalik pepohonan, ternyata…… disana…..ya disana…. Itu pantainya. Tiba-tiba saja rasa capek kami hilang. Kami lanjutkan perjalanan.

Sampai digerbang pantai, terdapat tulisan “private property, do not entry”. Apa maksudnya ini?. Tiba-tiba ada 2 orang turis melewati kami menuju ke penginapan di sebelah sana. Mereka memandangi kami penuh curiga. Aneh, kataku dalam hati. Suara ombak lebih menarik bagiku daripada mencari jawaban atas kepenasaranku akan pandangan si turis tadi.

Kami menuruni bukit dengan berjalan kaki. Dan …… sampailah kami di pantai ini.
WOUW…..ANCOOOOR…..KEREN…. SUBHANALLAH…..Cuma itu kata-kata yang keluar dari bibirku. Aku dan mas tofik saling berpandangan. Aku tahu dia memikirkan hal yang sama denganku, KEREN.

Tempat itu sepi sekali seperti seolah-olah tertutup untuk umum. Cuma ada kami, dan skitar 4 orang pencari kulit kerang.

Wouw, pasirnya putih, mengelitik kami untuk saling melempar pasir. Kami berempat berlari bekejaran. Berlomba hingga sampai di karang diujung pantai. Kaki kami tersangkut di pasir yang berwarna putih krem itu. Sandal kami angkut, lalu kami berlari tanpa alas kaki. Wawanlah yang mencapai pertama kali. Aku tak sabar untuk mencicipi pantainya.

Pantai di panatai surga ini, seolah-olah terbagi menjadi 3 bagian. Bagian yang pertama-tempat kami berpijak, adalah bagian pantai tak berombak, kalaupun ada, sangat kecil. Disana, kita bisa melihat beningnya air pantai. Dan disana kita bisa melihat terumbu karang yang ada disana. Kami melihat landak laut, ikan-ikan yang luar biasa indahnya. Tidak seperti ikan kecebong yang sering kami lihat di selokan pinggir rumah kami. Ikan-2 itu siripnya diatas dan dibawah seperti ikan laut biasanya. Kami juga melihat bintang laut.

Kami tergugah untuk lari ke bagian yang kedua. Disana, pantainya tak berkarang, namun bersih sekali pantainya. Ombaknya sedang. Tidak besar, juga tidak kecil.

Untuk menuju kesana, kita harus melewati batu-2batu besar yang berrwarna putih seperti bukit kapur di grand canyon itu. Keren banget. Kami menaikturuni bukit kapur itu.

Ada suara monyet dari balik gua yang kami lewati. Tapi kami tak berani kesana.

Kami langsung menuju ke pantai. Disana kami berenang. Menelentangkan tubuh ini. Membiarkannya disapu ombak. Kami tertawa keras ketika tubuh kami terseret ombak ke tepi pantai. Tiba-tiba saja badan ini bergerak ke pantai. Kami senang minta ampun deh…. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. Jauh sekali dari kondisi kenjeran yang selama ini aku bangga-banggakan sebagai mantan calon cak sby.





Setelah puas bermain di pantai, kami berempat pulang. Aku masih penasaran dengan pandangan turis itu. Sejenak aku baca lagi plang “dilarang masuk” itu. Di bawahnya terdapat tulisan “www.heavenontheplanet.co.nz”. sial, kenapa aku baru sadar ya?

Skr aku tahu arti tatapan itu, skr aku juga tahu knp tempat itu sepi pengunjungnya. Apa mungkin benar dugaanku bahwa……?.
Aku menumpang bertanya pada orang yang tinggal disana. Dia adalah pegawai hotel yang ada ditempat itu. Aku bertanya siapa pemilik hotel ini. Ia menjawab sebuah nama, Kerry Black. Ia juga bilang, tempat ini telah dibeli oleh Black seharga 150 juta. Oh shit, apa benar pantaiku telah dijual? Semurah itukah harga negeriku?.

Pantas saja turis itu menatapku aneh. Mungkin ia berpikir, bagaimana bisa orang pribumi bisa masuk disana?

Aku pulang membawa sejuta kesenangan dan kesedihan. Aku terpuaskan dengan indahnya alam di pantai surga. Tapi aku kecewa dengan dijualnya tanah negeriku ke orang asing. Aku kecewa…..aku kecewa……aku kecewa….!!

Malam mulai menampakkan diri. Kami pulang, naik turun bukit lagi. Kali ini lebih mencekam karena ternyata kami telah masuk di alam bebas tanpa ada lampu jalan sama sekali. Gelap semua. Hanya lampu motor kami yang menyala.

Ingat! Jangan sampai kendaraan kita mogok di tengah jalan. Sebelum berangkat, pastikan semuanya dalam kondisi OK.

Label:

2 Komentar:

Blogger Rudi B. Prakoso mengatakan...

Kurang ajar banget orang yang ngejual tuh pantai.

Seharusnya pemerintah harus bisa mempertahankan kekayaan alam Indonesia, harga 150juta untuk sebuah pantai tidak sebanding dengan kerugian yang didapat oleh bangsa indonesia.

Sungguh saya menangis ketika membaca tulisan Anda dan membuka alamat situs tentang Heaven on the Planets dan melihat apa yang ada disitus itu.

Apakah pemerintah setempat tidak melihat aspek negatif dan positif penjualan pantai itu?

Sungguh ironis...!!

Rabu, Agustus 27, 2008 10:05:00 PM  
Blogger ghosty1st mengatakan...

yup mas. sangat menyayat hati.itulah kenapa saya sangat ingin mengajar ke daerah-2 berpotensi tapi pendidikan masih belum maju. biar bangsa kita ini tidak terlalu bodoh dalam menghadapi hidup ini.thanks 4 comment...

Kamis, Agustus 28, 2008 3:38:00 AM  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda