Jumat, 16 Mei 2008

Trans (catatan kecil, tak terlihat)

Bunda. Setiap orang memujimu. Setiap orang mengelu-elukanmu, dari seorang bakul kacang, hingga jajaran kepresidenan. Tak ada yang meragukan betapa hebatnya dirimu. Walau terlihat lemah, namun sesuatu dibalik dirimu yang oleh semua orang disebut “kasih sayang” mampu manjadi surya penerang bagi setiap kegelapan. Menjadi tali penarik di kala diri jatuh. Menjadi penegak ketika diri lemah.

Sabda Tuhan Sang Pencipta yang terangkum dalam ayat-ayat suci-Nya pun turut menyanjungmu sebagai manusia suci. Tak tanggung-tanggung, surga nan Indah memukau pun, Ia misbahkan di telapak kakimu.

Pun juga Sang Nabi. Lihatlah jawabannya atas pertanyaan umatnya tentang siapa yang pantas dihormati di dunia ini. Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu. 3 lawan 1, mungkin sudah cukup menggambarkan betapa kau lebih hebat dari ayahku. Sebuah jawaban yang semula kuanggap aneh, namun akhirnya kutemukan juga kenapa.

Lagu-lagu bertajuk bunda selalu menjadi nyanyian wajib bagi orang-orang yang mengaku sebagai manusia pecinta bunda. Lantunannya selalu indah terdengar. Sepertinya sang maestro paham betul bahwa senandung ini bukanlah sekedar main-main. Ia sadar pada siapa lagu ini akan didedikasikan. Setiap syair, lirik, dan nada harus dipadu dengan apik. Dengar saja harmoni syair dalam deretan tangga nada yang berjudul “Bunda” yang dilantunkan oleh Melly, atau “Ibu” dari Iwan yang mengaku dirinya Fals, atau “Andai aku besar nanti” dari penyanyi cilik Sherina. Selalu nikmat untuk didengar.

Setiap orang menyanjungmu. Setiap orang memujimu. Pantas memang. Namun…bolehkah aku bertanya, “Ibu apakah engkau, ibuku?”.
Seorang ibu yang seharusnya disanjung dan dihormati, seorang ibu yang seharusnya padanya kita menaruh sujud kita yang ketiga setelah Tuhan dan Nabi.
Seharusnya.
Seharusnya.
Mengapa harus “seharusnya”? Ibuku seperti apa? Ada apa dengan ibuku? Kenapa semua orang menertawaiku atas ibuku? Tidak bolehkah kami saling memberi kasih? Ataukah urat syaraf tertawamu sudah rusak, sehingga tak mampu lagi kamu kendalikan?



Mama. Begitu aku memanggilmu. Bukan karena ikut-ikutan teman kecilku yang memanggil ibunya dengan sebutan mama, tapi aku suka memanggilnya mama. Lebih akrab.

Mama. Aku mengerti. Kini aku mengerti kenapa aku dimaki jadi-jadian. Meski sungguh, aku dilahirkan oleh seorang manusia, walau namanya tak pernah kukenal. Aku tahu, aku pernah dikandungnya, walau kasih sayangnya tak pernah kurasakan. Yang kuketahui hanya belaian mama, yang kukenang hanya sapaan kasih mama. Dan walau kini aku tahu mama tidak pernah mengandungku.

Tiap kusebut nama mamaku, setiap orang tertawa. Ingin sekali ku sumpat mulut mereka dengan sandal jepit bututku atau sisa popok bayi tetanggaku. Tak tahukah mereka akan penderitaan seorang wanita yang menjelang usia senja? Apa mereka juga tidak tahu rambutnya yang mulai memutih dan tulangnya yang mulai mengeropos itu dia relakan demi menghidupi seorang anak yang dititipkan oleh Tuhan padanya?

Aku akan terus mengenang masa kecilku yang getir. Penuh makian. Tertawa mencibir sinis. Teman-teman sekampung tak pernah mau mengajakku bermain bersama. Orang tua mereka juga memandangku penuh hina. Mereka mengatakan bahwa aku adalah badut parade yang tengah berjalan di tengah lalu lalang warga gang Turi. Wali kelasku di Sekolah Dasar kerap memandang mama dengan muka memerah menahan tawa.

Aku tak mengerti saat itu. Tapi mama tak pernah gentar. Mama tak pernah memaki dunia. “Dunia cuma belum mengerti kita. Itu saja. Bukan dunia yang bejat. Manusianya saja yang laknat”. Selalu begitu wejangannya ketika aku mengeluh padanya.

“Aku tahu itu, ma”. Aku tahu masih ada orang-orang baik di luar sana. Seperti pelanggan-pelanggan salon mama. Aku senang sekali melihat mama sibuk menggunting rambut pelanggan. Itu artinya, kami masih bisa makan nasi dan lauk tempe besok dan lusa. Itu juga berarti aku masih bisa membayar iuran sekolah bulan depan.

Masih perlu ditertawakankah, seseorang yang telah mengubah ibu-ibu biasa menjadi sosok wanita anggun yang cantik bak ratu kraton? Tak bisakah mereka menghargai tangan terampil mama? Atau hati mereka sudah keropos hingga tak mampu merasa?

Berkat mama aku tumbuh besar, walau bukan tanpa masalah. Perjalanan kami memang terjal. Hinaan, caci maki, sindiran, ejekan serasa seperti hujan batu yang menyirami.
Kehidupan bercintaku pun tak pernah mulus. Semua kekasihku meminta putus dariku setelah bertemu mama. Aku sedih. Bukan karena aku dibesarkan orang seperti mama. Tapi aku sedih karena mantan-mantan kekasihkku begitu sempit mamandang mama. Padahal aku sangat menyayangi mama.

Jika saja di malam dua puluh dua tahun yang lalu mama tak mendengar tangis lirih bayi di tempat sampah itu, maka mungkin aku tak akan pernah ada. Mungkin saja aku mati kelaparan dan kedinginan. Atau mungkin aku ditemukan oleh orang tua macam ibu Dave Pelzer di buku “a child called it”.

Namun aku tegarkan diriku. Biarlah pria-pria itu pergi jika mereka rasa mereka berdosa menikahi anak perempuan yang dibesarkan seorang waria yang nyata-nyata tak mungkin mengandung dan melahirkan seorang anak.

Waria memang hina. Namun, adakah yang lebih hina dari para wakil rakyat yng berkoar-koar mengatasnamakan “perjuangan demi rakyat” tapi di balik itu menggerogoti uang rakyat? Mungkin menjadi waria seperti mama, yang telah menyelamatkan nyawa dan merawat seorang anak, lebih baik daripada menjadi manusia laknat berdasi seperti mereka. Namun kenapa hinaan dan makian itu tertuju pada mamaku?

Mama tak perlu menangisi kisah cintaku. Bukan mama yang salah. Sungguh, kasih sayang mama sudah cukup bagiku. Sebagai oase atas kegersangan jiwaku. Simpan saja air mata mama untuk kesedihan yang lain. Toh sekarang aku menemukan Surya-ku, seorang pria yang ikhlas memberiku cinta dan menerimaku apa adanya.

Dia mencintaiku karena aku begini adanya. Bukan karena aku anak haram. Bukan pula karena kemolekan wajah yang kebetulan kumiliki. Lebih dari sekedar penerimaan, aku yakin inilah jawaban Tuhan atas doamu tiap malam. Inilah balasan Tuhan atas air mata mama yang selalu keluar setiap tembakan makian tertuju pada kami.

Mama, aku bahagia. Kuraih gelar sarjana dari usaha mama membuka salon. Aku juga bahagia, kuraih hidupku yang nyaris direnggut dari sosok bayiku oleh wanita yang mengandungku. Kuraih itu semua melalui tangan mama.

Mama, aku tahu mama bukan wanita. Aku juga tahu mama tak mau dianggap pria. Aku tahu mama tak pernah mutlak diterima para tetangga dan masyarakat. Aku tahu mama pun tersiksa. Bahkan di saat (seharusnya) mama bahagia karena putrimu ini menikah, mama tak sempat untuk merasakannya. Tuhan telah memanggilmu untuk menghadap-Nya.

Kala melihat tubuhmu yang terbujur kaku itu, kusadari betapa singkatnya waktu untuk membalas cintamu. Singkat sekali. Tapi mama, tersenyumlah. Hidupmu yang tak sempurna telah memberiku begitu banyak kesempatan untuk meraih kehidupan.

Satu kehidupan telah berakhir. Namun satu kahidupan baru saja tercipta. Dengan teladanmu mama, akan kurawat kehidupan yang telah dititipkan Tuhan melalui rahimku. Bersama Surya-ku, yang datang melalui do’a mama. Aku bahagia mama. Sungguh, aku bahagia. Aku mencintai mama yang waria, seperti semua orang mencintai mamanya yang wanita.

Tak ada gading yang tak retak. Mungkin itulah mamaku. Tak sempurna. Namun, jam yang rusak sekalipun akan menunjukkan dua waktu yang benar dalam satu hari, bukan? Mungkin semua orang mengira mama memang tak normal, namun, sementara orang-orang hanya mampu bicara, mama telah berbuat.

Tuhan, Engkau Maha Pemaaf. Jika memang apa yang dia lakukan selama ini salah, maafkanlah. Dia sekarang telah tiada, Tuhan. Mungkin disana, di alamnya, ia sendiri. Untuk itu, temani ia dengan cintaku dan cintaMu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.
Tuhan, Engkau Maha Tahu. Biar semua orang tidak menerima keadaannya, namun aku menjadi saksi bahwa mama adalah orang yang baik. Orang yang dengan segenap hati menjalankan amanahMu. Menyelamatkan makhluk ciptaanMu, aku.


-----------(selesai)------------
ide cerita : Astri (DKV '06).

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda