sepucuk rasa untuk dewan pajak
sebuah tulisan Sofyana Kharisma
siswa kelas X MM4 SMK IPIEMS Surabaya
Sungguh indah nian Indonesia ini.
Di setiap sudutnya tampak begitu sempurna. Segala kekayaan alamnya, telah nampak diolah dengan baik oleh tangan-tangan bertanggungjawab. Tak ada satu titik pun yang tertangkap buruk oleh panca indera. Segala sesuatunya telah tertata apik rupanya.
Taman-taman bertebaran di sana-sini. Menambah kesejukan pada Indonesia yang sudah ‘hijau’ ini. Bahkan, kini di jalanan tidak lagi disesaki oleh mobil-mobil atau kendaraan lainnya yang terjebak kemacetan hanya karena sempitnya ‘lahan’ untuk berkendara. Belum lagi, kini Jembatan Suramadu, sebagai jembatan penghubung antar daratan, telah memiliki junior-junior. Tak perlu lagi Bli Komang memesan pesawat untuk singgah ke griya Mbah Marijan. Hmm… Bangga deh menjadi anak Indonesia!
Tapi…
Jduarkk!!
Begitu dahi saya terbentur tembok kamar di sisi samping tempat tidur, barulah saya menyadari sesuatu. Astaga, Itu semua hanya sekedar mimpi belaka! Mau tidak mau saya harus kembali ke alam nyata. Alam yang telah disutradarai oleh yang Sang Pencipta.
Ah, lagi-lagi saya harus menerima kenyataan ini. Kenyataan yang menyeruakkan seruan, “Indonesia Negeri yang bobrok!” Jalanan-jalanan berlubang bertebaran di sana-sini, dan tak kunjung adanya kesigapan untuk memperbaikinya. Penghijauan yang menjadi urat nadi kota, juga tidak lebih banyak dari tumpukan sampah di TPA. Diperparah dengan fasilitas-fasilitas umum yang tak terpelihara. Lampu lalu lintas yang tidak berfungsi dan hanya menjadi hiasan semata di jalan raya, misalnya. Atau pula jembatan penyebrangan yang beresiko ‘menyebrangkan’ penggunanya ke ranjang Rumah Sakit.
Kalau sudah begini, mampukah Indonesia menjadi Negeri Sempurna seperti dalam mimpi saya –atau bahkan, sebenarnya juga menjadi mimpi kita semua?
Tak perlu muluk-muluk berusaha untuk membangun Suramadu,junior ataupula kereta bawah tanah, ketanggapan untuk mengganti lampu penerang jalan yang sudah harus pensiun saja, masih patut untuk dipertanyakan.
Lantas, salah siapakah ini?
Salahkah masyarakat? Salahkah mereka yang telah mempercayakan pembangunan kepada pemerintah melalui pajak yang telah dibayarnya? Salahkah mereka yang telah membayar pajak dan berharap adanya kemajuan bagi Negeri kita ini? Atau jangan-jangan pengelolah pajak sendirinya-lah yang ‘bermasalah’?
Entahlah.
Berbicara mengenai pajak, bukankah pajak itu wajib? Dan itu artinya, manusia-manusia yang menyandang gelar wajib pajak tidak akan dapat lolos dari ‘jeratan’-nya, kan? Yah, walau tidak dipungkiri masih ada saja makhluk-makhluk Tuhan itu yang sedikit ‘nakal’ dalam memenuhi kewajibannya itu. Jangankan membayar pajak, melakukan perintah dari-Nya yang sifatnya langsung dipertanggungjawabkan kepada-Nya saja, masih jauh dari kata patuh. Namun walau begitu, tetap saja presentasenya tidak lebih besar daripada mereka-mereka yang rajin dalam berpajak, bukan?
Beralih ke sudut pandang lainnya. Cobalah menaruh bidik ke para pengelolah pajak. Sudahkah mereka melakukan pembangunan dengan baik? Sudahkah mereka mengemban amanah itu dengan sejujur-jujurnya?
Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia ini ialah gudangnya para ‘tikus’. Mulai dari kelas teri, yang siap dengan spanduk bertuliskan “saya hanya coba-coba” untuk berjaga-jaga dari gempuran mendadak dari pihak KPK, hingga kelas kakap yang sudah berjaga-jaga dengan berkoper-koper uang miliaran atas hasil ‘jajahan’-nya, yang telah siap untuk dijejalkan ke mulut para penegak hukum. Dan lebih tidak rahasia lagi, kalau para ‘tikus’ telah menyebarkan ‘virus’-nya. Bahkan bisa saja ‘sang kelinci’ manis dengan sekejap bisa berubah menjadi ‘tikus’ yang laknat. ‘Virus’ telah menyebar tanpa bisa dicegah. Anggota DPR, anggota kabinet kepemerintahan, anggota kepolisian, telah diserang ‘virus’ ganas itu. KPK sang pemberantasnya saja, bisa jadi terkena serangan balik darinya. Lalu, kenapa tidak dengan para pengelola pajak?
Kini, coba bayangkan berapa jumlah penduduk di Indonesia. Ah, sepertinya terlalu banyak untuk dijadikan perhitungan. Penduduk se-Jawa Timur sajalah. Hmm… Masih terlalu banyak juga. Kalau begitu, bayangkan berapa banyak jumlah penduduk di Surabaya ini. Kurang lebih tiga juta jiwa. Tidak dipungkiri memang, tidak seluruhnya dari mereka sadar akan pajak. Yah… Anggap saja lima puluh persen darinya saja yang sadar pajak (walau sebenarnya lebih dari itu). Dari lima puluh persen itu, andaikan satu orang membayar pajak seribu rupiah untuk satu bulan sekali. Satu miliar lebih, uang pajak akan terkumpul. Padahal, itu hanya untuk satu bulan sekali! Hanya seribu rupiah! Bagaimana kalau mereka membayar genap untuk satu tahun? itu baru di Surabaya, gimana kalau satu Jatim, gimana pula kalau se Indonesia.
Hwalahdalah…
Banyak sekali tentunya. Padahal, nyatanya para wajib pajak, membayar pajak lebih dari itu. Belum lagi bagi “seseorang” yang berkantong besar, dengan gaji puluhan juta perbulannya. Tentunya, pajak yang dibayarkan sebagai “Pajak Penghasilan” pun tidaklah bernominal kecil. Dan “seseorang” seperti itu, tak hanya seorang saja, kan?
Dari situ, kita bisa membayangkan, betapa banyaknya miliaran rupiah di tangan para pengelolah pajak. Betapa banyaknya kepercayaan yang diamanahkan kepada mereka. Betapa banyaknya harapan masyarakat untuk melihat Negerinya menjadi Negeri yang bebas dari belenggu ‘ketertinggalan’. Tidak perlulah bisa menyaingi Negeri Paman Sam, bisa berdampingan dengan RRC saja kita sudah bisa berbangga hati.
Lalu, bertanyalah kita, kemana larinya rupiah-rupiah di tangan mereka itu? Apakah bersembunyi -atau jangan-jangan disembunyikan di balik kantong mereka? Atau malah, rupiah-rupiah hasil perasan keringat rakyat itu, tidak sengaja terselip saat mereka sedang bersenang ria?
Entahlah
Namun yang pasti, keadaan di sekeliling kita masih terlihat amburadul. Pajak seolah tak bertimbal balik kepada kita. Memang sih, pajak tidak diberikan melalui jasa secara langsung, tapi yang dimaksud ‘secara tidak langsung’ di sini, bukan berarti tidak tercium aromanya sama sekali, kan?
Wahai engkau ‘Sang Manusia Perpajakan’, tidakkah kau menginginkan Negeri kita ini menjadi Negeri seperti di mimpiku? Atau bahkan… lebih dari itu?
General comment from the owner of this blog:
Hmmmm,,,,,very good!!! My 4 thumbs r all for ur talent, sista. It’s very fantastic essay. Well, I want u know, sista, how glad I was, when I found a student like u. it seems like I found a diamond in my life. I’m so proud of u sista. Keep writing, n always be smart with it.
siswa kelas X MM4 SMK IPIEMS Surabaya
Sungguh indah nian Indonesia ini.
Di setiap sudutnya tampak begitu sempurna. Segala kekayaan alamnya, telah nampak diolah dengan baik oleh tangan-tangan bertanggungjawab. Tak ada satu titik pun yang tertangkap buruk oleh panca indera. Segala sesuatunya telah tertata apik rupanya.
Taman-taman bertebaran di sana-sini. Menambah kesejukan pada Indonesia yang sudah ‘hijau’ ini. Bahkan, kini di jalanan tidak lagi disesaki oleh mobil-mobil atau kendaraan lainnya yang terjebak kemacetan hanya karena sempitnya ‘lahan’ untuk berkendara. Belum lagi, kini Jembatan Suramadu, sebagai jembatan penghubung antar daratan, telah memiliki junior-junior. Tak perlu lagi Bli Komang memesan pesawat untuk singgah ke griya Mbah Marijan. Hmm… Bangga deh menjadi anak Indonesia!
Tapi…
Jduarkk!!
Begitu dahi saya terbentur tembok kamar di sisi samping tempat tidur, barulah saya menyadari sesuatu. Astaga, Itu semua hanya sekedar mimpi belaka! Mau tidak mau saya harus kembali ke alam nyata. Alam yang telah disutradarai oleh yang Sang Pencipta.
Ah, lagi-lagi saya harus menerima kenyataan ini. Kenyataan yang menyeruakkan seruan, “Indonesia Negeri yang bobrok!” Jalanan-jalanan berlubang bertebaran di sana-sini, dan tak kunjung adanya kesigapan untuk memperbaikinya. Penghijauan yang menjadi urat nadi kota, juga tidak lebih banyak dari tumpukan sampah di TPA. Diperparah dengan fasilitas-fasilitas umum yang tak terpelihara. Lampu lalu lintas yang tidak berfungsi dan hanya menjadi hiasan semata di jalan raya, misalnya. Atau pula jembatan penyebrangan yang beresiko ‘menyebrangkan’ penggunanya ke ranjang Rumah Sakit.
Kalau sudah begini, mampukah Indonesia menjadi Negeri Sempurna seperti dalam mimpi saya –atau bahkan, sebenarnya juga menjadi mimpi kita semua?
Tak perlu muluk-muluk berusaha untuk membangun Suramadu,junior ataupula kereta bawah tanah, ketanggapan untuk mengganti lampu penerang jalan yang sudah harus pensiun saja, masih patut untuk dipertanyakan.
Lantas, salah siapakah ini?
Salahkah masyarakat? Salahkah mereka yang telah mempercayakan pembangunan kepada pemerintah melalui pajak yang telah dibayarnya? Salahkah mereka yang telah membayar pajak dan berharap adanya kemajuan bagi Negeri kita ini? Atau jangan-jangan pengelolah pajak sendirinya-lah yang ‘bermasalah’?
Entahlah.
Berbicara mengenai pajak, bukankah pajak itu wajib? Dan itu artinya, manusia-manusia yang menyandang gelar wajib pajak tidak akan dapat lolos dari ‘jeratan’-nya, kan? Yah, walau tidak dipungkiri masih ada saja makhluk-makhluk Tuhan itu yang sedikit ‘nakal’ dalam memenuhi kewajibannya itu. Jangankan membayar pajak, melakukan perintah dari-Nya yang sifatnya langsung dipertanggungjawabkan kepada-Nya saja, masih jauh dari kata patuh. Namun walau begitu, tetap saja presentasenya tidak lebih besar daripada mereka-mereka yang rajin dalam berpajak, bukan?
Beralih ke sudut pandang lainnya. Cobalah menaruh bidik ke para pengelolah pajak. Sudahkah mereka melakukan pembangunan dengan baik? Sudahkah mereka mengemban amanah itu dengan sejujur-jujurnya?
Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia ini ialah gudangnya para ‘tikus’. Mulai dari kelas teri, yang siap dengan spanduk bertuliskan “saya hanya coba-coba” untuk berjaga-jaga dari gempuran mendadak dari pihak KPK, hingga kelas kakap yang sudah berjaga-jaga dengan berkoper-koper uang miliaran atas hasil ‘jajahan’-nya, yang telah siap untuk dijejalkan ke mulut para penegak hukum. Dan lebih tidak rahasia lagi, kalau para ‘tikus’ telah menyebarkan ‘virus’-nya. Bahkan bisa saja ‘sang kelinci’ manis dengan sekejap bisa berubah menjadi ‘tikus’ yang laknat. ‘Virus’ telah menyebar tanpa bisa dicegah. Anggota DPR, anggota kabinet kepemerintahan, anggota kepolisian, telah diserang ‘virus’ ganas itu. KPK sang pemberantasnya saja, bisa jadi terkena serangan balik darinya. Lalu, kenapa tidak dengan para pengelola pajak?
Kini, coba bayangkan berapa jumlah penduduk di Indonesia. Ah, sepertinya terlalu banyak untuk dijadikan perhitungan. Penduduk se-Jawa Timur sajalah. Hmm… Masih terlalu banyak juga. Kalau begitu, bayangkan berapa banyak jumlah penduduk di Surabaya ini. Kurang lebih tiga juta jiwa. Tidak dipungkiri memang, tidak seluruhnya dari mereka sadar akan pajak. Yah… Anggap saja lima puluh persen darinya saja yang sadar pajak (walau sebenarnya lebih dari itu). Dari lima puluh persen itu, andaikan satu orang membayar pajak seribu rupiah untuk satu bulan sekali. Satu miliar lebih, uang pajak akan terkumpul. Padahal, itu hanya untuk satu bulan sekali! Hanya seribu rupiah! Bagaimana kalau mereka membayar genap untuk satu tahun? itu baru di Surabaya, gimana kalau satu Jatim, gimana pula kalau se Indonesia.
Hwalahdalah…
Banyak sekali tentunya. Padahal, nyatanya para wajib pajak, membayar pajak lebih dari itu. Belum lagi bagi “seseorang” yang berkantong besar, dengan gaji puluhan juta perbulannya. Tentunya, pajak yang dibayarkan sebagai “Pajak Penghasilan” pun tidaklah bernominal kecil. Dan “seseorang” seperti itu, tak hanya seorang saja, kan?
Dari situ, kita bisa membayangkan, betapa banyaknya miliaran rupiah di tangan para pengelolah pajak. Betapa banyaknya kepercayaan yang diamanahkan kepada mereka. Betapa banyaknya harapan masyarakat untuk melihat Negerinya menjadi Negeri yang bebas dari belenggu ‘ketertinggalan’. Tidak perlulah bisa menyaingi Negeri Paman Sam, bisa berdampingan dengan RRC saja kita sudah bisa berbangga hati.
Lalu, bertanyalah kita, kemana larinya rupiah-rupiah di tangan mereka itu? Apakah bersembunyi -atau jangan-jangan disembunyikan di balik kantong mereka? Atau malah, rupiah-rupiah hasil perasan keringat rakyat itu, tidak sengaja terselip saat mereka sedang bersenang ria?
Entahlah
Namun yang pasti, keadaan di sekeliling kita masih terlihat amburadul. Pajak seolah tak bertimbal balik kepada kita. Memang sih, pajak tidak diberikan melalui jasa secara langsung, tapi yang dimaksud ‘secara tidak langsung’ di sini, bukan berarti tidak tercium aromanya sama sekali, kan?
Wahai engkau ‘Sang Manusia Perpajakan’, tidakkah kau menginginkan Negeri kita ini menjadi Negeri seperti di mimpiku? Atau bahkan… lebih dari itu?
General comment from the owner of this blog:
Hmmmm,,,,,very good!!! My 4 thumbs r all for ur talent, sista. It’s very fantastic essay. Well, I want u know, sista, how glad I was, when I found a student like u. it seems like I found a diamond in my life. I’m so proud of u sista. Keep writing, n always be smart with it.
Label: kedai motivasi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda