Rabu, 20 Februari 2008

Iwan, sahabat yang hilang



Sohib, pernah ga kamu menginginkan sesuatu, sehingga tiap hari, tiap saat kamu terus memikirkan tentang keinginanmu itu? Keinginan itu sangat besar dan sangat penting bagi hidupmu sehingga kamu tidak akan pernah membiarkan seseorang, siapapun didunia ini untuk “mencuri” keinginanmu itu, mempengaruhimu untuk melepas keinginan itu.

Setiap saat kamu memikirkannya, hingga suatu saat secara tiba-tiba ataupun disengaja, keinginanmu itu terwujud. Lalu kamu pun membenarkan istilah “pucuk di cinta ulam tiba”

Aku pernah punya sahabat yang sangat dekat ketika duduk di bangku SMP dulu. Iwan namanya. Dia tak lain tidak bukan adalah ketua OSIS pada jamanku itu. “ketidak beradaannya” secara ekonomi membuatnya tak mengijinkan siapapun termasuk aku untuk mengetahui dimana rumahnya. Dia hanya bilang kalau rumahnya berada di dekat tempat pembuangan sampah dan di pinggir kalimas. “Apa hubungannya dengan persahabatan ini?” tanyaku dalam hati. Pun demikian aku sangat menghargai privasinya. Mungkin persahabatan kami hanya sampai diambang pintu rumahnya.

Lepas SMP, diawal-awal dia masih sering kerumahku. Namun entah mengapa setelah itu, kami disibukkan dengan urusan kami masing-masing di sekolah. Bagiku, bukan karena aku sudah memiliki teman-teman baru di STM, tetapi karena memang aku sangat susah menghubunginya. Tidak ada no telpon atau HP yang bisa dihubungi. Rumahnya pun aku tidak tahu. Mau tanya kemana juga tidak ada yang tahu. Aku hanya bisa berharap suatu saat aku masih bertemu dengannya.

Pernah suatu saat, setelah aku lulus STM, harapanku untuk bertemu dengannya sangat memuncak. Tidak tahu kenapa, pagi itu aku diserang dengan keriduanku untuk bertemu dengannya. Bercanda, memimpikan masa depan, dll hal-hal yang sering kami lakukan bersama. Dalam tiap sholatku hari itu, aku cantumkan namanya. Lalu, adzan Isya dari masjid dekat rumahku pun berkumandang, seperti biasanya (ga selalu sih) aku bergegas memenuhi panggilan Allah itu. Aku sholat Isya di masjid itu.

Usai sholat, kulangkahkan kakiku ini entah kemana. Aku hanya menikmati rasa rinduku pada sahabatku yang satu itu. Aku berjalan di pinggir jalan menyusuri jalan raya Sidotopo hingga ke Ampel sambil mencoba mengingat masa-masa dulu ketika kami bersama. Tak ayal terkadang aku bicara sendiri, tertawa sendiri. Pun bibirku melayangkan senyum tawa namun hatiku masih menangis mengingatnya. Memang benar kata Slank “terlalu manis untuk di lupakan, kenangan yang indah bersamamu…..”. kubiarkan saja orang mencibirku gila atau apalah, aku terus berjalan.

Perjalanan ini cukup jauh, hingga tak terasa langkah kakiku membawaku pulang kerumah. Disana ibuku yang cantik menungguku seolah ada kabar yang ingin dia sampaikan.

“Dani (Nb: aku kalau di rumah di panggil Dani), baru saja Iwan kesini. Dia tunggu kamu lama sekali.” Katanya

“Hah? Mana dia sekarang? Mana bu?” aku tak tahu apa nama ekspresi ini, yang jelas aku shock sekali.

Iwan, aku kangen padamu dimana kamu sekarang, kataku dalam hati.

“dia sudah pulang. Sudah agak lama sih. Tapi gak tahu lagi kalau masih ada di jalan” jawab ibuku.

Tak kupedulikan apa-apa, termasuk sandalku yang tertukar kanan dan kirinya, aku bergegas lari sekencang mungkin seperti maling yang ketahuan orang sekampung. Aku berlari menuju angkutan di pinggir jalan. Aku telusuri satu persatu penumpang di dalamnya. Tak ada wajah Iwan disana. Aku periksa angkot yang satunya lagi, pun sama. Dia tak ada disana.

Aku lalu melihat angkot depanku yang sudah berjalan cukup jauh didepanku. Lajunya agak lambat. Aku pikir, mungkin ia disana. Aku lari sekencang-kencangnya mengejar mobil Lyn F yang berwarna coklat susu itu. Ternyata lajunya yang lambat memang memberi manfaat, paling tidak dengan kecepatan lariku aku masih bisa mengejarnya. Salah jika aku selama ini mengumpat angkutan ini yang memang lajunya lambat sekali.

Aku berlari hingga akhirnya aku berada di depan mobil itu. Aku menghentikan mobil itu seolah-olah aku hendak naik. Aku tidak naik, aku hanya memeriksa saja. Menunggu agak lama sang sopir berteriak “cepetan dik!”. Logat madura sang sopir sangat kental.

Kulihat satu persatu. Wajah yang menunduk terkantuk itu. Itu pasti Iwan. Potongan badannya memang Iwan, tapi…..

Aku memanggil perlahan, “Iwan…… !”

Lalu wajah itu terangkat keatas. Ya……!!!!! Itulah Iwan. Ya Tuhan, itu memang benar Iwan.

“cepetan dik! Sido numpak (jadi naik) ga?” suara itu terdengar lagi.

“Wan cepetan turun” kataku padanya. Aku lalu membayar si sopir. Iwan turun dari angkot.

Tanpa sungkan, aku langsung memeluknya. Melepas kerinduan pada sang sahabat yang kata orang-orang kami sudah seperti saudara.

Tuhan, Kau kabulkan permintaanku. Terima kasih Tuhan.

Singkat cerita, sebenarnya banyak sekali pencapaian-pencapaian dalam hidupku ini yang aku mulai dengan berpikir. Intinya, keinginan yang benar-benar kita inginkan dan itu kita pikirkan tiap hari, akan terwujud. Bagaimana caranya?. Sabar ya!!! Insya Allah, kapan-2 aku mau posting khusus ini.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda