visualisasi Tuhan (part 2)
Orang-orang yang bergerak dibidang seni dan desain (NB: agar menyingkat tulisan, maka kita sebut mereka sebagai desainer) adalah orang-orang yang unik. Orang-orang ini adalah orang yang memiliki alam pikiran yang luas, liar, tak terbendung. Tak ada yang mampu mengejar pikirannya yang terbang kemana-mana. Mereka berpikir sesuatu yang oleh orang lain pikir itu tidak mungkin. Itulah letak ke”aneh”annya.
Kehebatannya menjangkau sesuatu diluar nalar ternyata tidak dimiliki oleh semua orang. Desainer memiliki kecenderungan berpikir memvisualkan apa yang ada didalam pikirannya. Bobby De Potter dalam bukunya ”Quantum Learning”, mengatakan orang-orang ini termasuk dalam kategori pembelajar tipe visual, yakni selalu memvisualkan semua hal, termasuk verbal maupun auditorial. Misalnya, jika desainer disuruh untuk mendiskripsikan tentang jeruk, maka ia segera berpikir tentang gambar jeruk, lalu mencoba menggambarkan jeruk lewat sebuah gambar. Dengan secepat mungkin ia mentransfer apa yang ada didalam pikirannya ke gambar tersebut.
Lalu bagaimana cara desainer dalam belajar tentang Tuhan? Bagaimana perjalanan spiritual para desainer dan kaum seniman? Apakah ia masih menggunakan daya visualnya untuk memahami makna Tuhan?
Saya (penulis) jadi teringat akan satu kenyataan di India dan Cina. Kedua negara itu sejak dulu sudah terkenal sebagai negara yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Jauh sebelum revolusi industri di Inggris, atau restorasi Meiji di Jepang, kedua negara itu sudah memiliki peradaban yang sangat tinggi. India dan Cina terkenal sebagai negara penghasil sutera dan perabotan dari guci, emas, dan perak.
Kedua negara itu ternyata memiliki cara sendiri dalam memahami makna Tuhan. Mereka memvisualisasikan Tuhan dalam bentuk berbagai macam patung dan sesembahan yang lain. Bagi mereka, ini adalah kepercayaan mereka. Namun sejatinya apa yang mereka sembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Patung dan sesembahan-sesembahan itu tak lain tak bukan, hanyalah bukti kepercayaan mereka terhadap Tuhan yang mereka wujudkan lewat jiwa seni mereka yang sangat tinggi.
Tak jauh dari orang India dan Cina, para desainer pun juga berpikir seperti itu. Hanya saja tidak semua desainer mewujudkannya dalam bentuk patung, namun bentuk-bentuk visual yang lain. Apapun bentuknya itu, mereka akan memvisualkan fisik Tuhan. Sebagian desainer menggambarkan Tuhan dalam bentuk sosok raja, lengkap dengan singgasana kerajaannya. Dikepala raja itu, ada sebuah mahkota bertahtakan emas dan berlian yang paling indah. Mungkin juga Tuhan diwujudkan sebagai sesosok Makhluk yang sangat besar, besar sekali hingga tak ada yang mampu menandinginya.
Lalu bagaimana islam memandang hal ini? Bagaimana islam mengajarkan umatnya dalam memahami Tuhannya?
Sebelum kita membahas ini, maka kita harus menyamakan persepsi bahwa jika ada dua hal yang berbeda sifat maka dua hal tersebut tidak dapat dijadikan satu. Contohnya minyak dan air, atau mungkin bangun segitiga dan lingkaran. Selain itu, kita juga harus menyamakan persepsi bahwa sesuatu yang tidak bisa kita lihat maka bukan berarti tidak ada. Ada sesuatu yang tidak bisa kita lihat, namun esensinya ada, listrik misalnya.
Apa yang dilakukan oleh seniman di India maupun di Cina, dan juga para desainer adalah bukti kepercayaannya pada Tuhan. Mereka memahami Tuhan berdasarkan caranya.
Adakah yang salah dari ini semua? Kita perlu hati-hati dalam menyikapinya.
Sebenarnya tidak salah jika mereka mempercayai adanya Tuhan, karena memang Tuhan itu ada. Namun cara mereka memahami Tuhan sangat keliru.
Eksistensi Tuhan tidak terpengaruh oleh kepercayaan kita. Kita percaya ataupun tidak, Tuhan tetap ada. Esensinya, bagaimanapun cara kita memahami Tuhan, ia akan tetap ada. Memvisualisasikan Tuhan kedalam wujud yang ada dalam pikiran manusia adalah sebuah dosa besar.
Sabda Allah dalam kitab suciNya Al-Quran mengatakan bahwa ”....sesungguhnya dari penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berpikir”.
Jika kita terdampar disatu pedesaan yang kita tidak mengenalnya, lalu kita menebang salah satu pohon kecil disana. Tidak lama setelah itu datang puluhan orang mendatangi kita, dan dengan paksa menghukum kita atas kesalahan kita menebang pohon tadi.
Dari hukum yang berlaku disana, maka kita yakin ada sebuah sistem yang berlaku disana. Jika ada sebuah sistem, secara langsung maupun tak langsung, kita harus mempercayai bahwa ada seorang pemimpin disana. Seorang pemimpin yang membuat, melaksanakan dan mengontrol jalannya sistem yang ada didaerah itu.
Sama halnya dengan memaknai Tuhan, dengan hanya mengetahui adanya alam ini dan sistem yang berlaku dialam ini (hujan, bumi berputar, siang, malam, dll) maka cukup sudah kita mengetahui bahwa ada Dzat yang memimpin ini semua. Dialah Tuhan. Kita tidak perlu memvisualisasikannya, apalagi mewujudkannya dalam bentuk fisik. Tuhan tidak sama dengan makhlukNya, apalagi dengan makhluk ciptaan makhlukNya (patung, bendera, simbol-simbol, dll). Sangat jauh.
Pikiran manusia terbatas. Sedangkan Tuhan itu tidak terbatas. Seperti yang kita setujui, bahwa 2 hal yang berbeda tidak akan bisa disatukan. Kebesaran Tuhan itu tidak terbatas. Sedangkan pikiran manusia yang terbatas, pasti akan menggambarkan kebesaran Tuhan yang terbatas pula, sebatas apa yang bisa dipikirkannya. Mungkin setiap manusia menggambarkan kebesaran Tuhan sebesar 10 cm2, atau 10 km2, atau 1juta km2, atau berapapun itu pasti ada batasannya. Sayangnya, kebesaran Tuhan itu tidak terbatas, apalagi dibatasi oleh pikiran manusia. Jika kita berani memvisualkan Tuhan, maka kita telah berani membatasi Tuhan. Dan jelas, ini adalah satu kesalahan besar karena kita telah menggeser makna ke-Maha Besar-an Tuhan sebesar pikiran kita saja.
Tuhan tidak terbatas ruang dan waktu karena pada dasarnya ruang dan waktu adalah ciptaanNya. Ke-Maha Awal-an Tuhan tidak dibatasi dengan adanya Nabi Adam dialam ini. Ke-Maha Akhir-an Tuhan juga tidak dibatasi dengan adanya kiamat yang sangat jelas diterangkan di Al Quran. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan berada di satu waktu tertentu dan satu tempat tertentu.
Ada satu privasi Tuhan yang tidak bisa kita tembus. Itulah mengapa kita harus menyetujui bahwa jika ada 2 hal yang berbeda, maka 2 hal itu tidak akan pernah bisa disatukan. Tuhan hanya mengijinkan kita memahamiNya lewat alam ciptaanNya ini. Tidak ada yang sanggup melihat Tuhan, bahkan ketika Nabi Musa hendak bertemu Allah, seluruh gunung meletus dan Nabi Musa pun pingsan. Padahal pada saat itu, Allah hanya menunjukkan Nur-Nya saja.
Selain melihat alam ciptaanNya, kita juga bisa melihat Tuhan dengan segala sifat-sifat baiknya. Jika didalam hati kita terbesit untuk jujur, maka yakinlah itu dari Tuhan. Jika kita melihat orang yang sangat pemaaf, maka yakinlah, Tuhan jauh lebih pemaaf dari hambaNya. Karena semua sifat baik adalah milik Tuhan.
Sama halnya jika kita melihat sebuah produk, Aqua misalnya. Dari produknya yang bisa kita beli ditoko-toko atau kantin kampus, maka kita bisa meyakini bahwa disana (entah dimana) pasti terdapat pabrik Aqua. Artinya, dari eksistensi produknya maka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa produk itu ada produsennya. Kita tidak perlu datang ke pabrik Aqua untuk memastikan apakah pabrik Aqua itu memang benar-benar ada atau tidak, bukan? Cukup dengan melihat gelas atau botol Aqua saja kita bisa melihat adanya pabrik Aqua.
Dan alangkah salahnya jika kita menggambarkan pabrik Aqua dengan imajinasi kita, sementara kita belum pernah datang ke pabriknya secara langsung. Bisa saja kita berimajinasi bahwa pabrik Aqua itu adalah sebuah kolam yang sangat besar yang didalamnya ada ikan-ikan besar seperti paus, dll. Atau kita juga bisa menggambarkan pabrik Aqua seperti gubuk kecil ditengah sawah yang dipinggirnya ada sumur kecil yang menyemprotkan airnya sampai keatas. Semua gambaran bisa saja keluar, namun sayangnya semua keliru.
Mengingat hal ini sudah sangat jelas berdosa, maka sudah semestinya institusi pendidikan yang mengajarkan tentang seni atau desain juga harus mengajarkan akidah yang cukup mendalam pada mahasiswanya. Pengetahuan tentang visualisasi Tuhan seharusnya dijadikan dasar dalam memaknai Tuhan dan menjalankan perintah agamanya. Sudah menjadi tanggung jawab bersama, khususnya perkuliahan agama yang ditunjang dengan kajian agama dijurusan atau sie kerohanian untuk merumuskan satu kurikulum yang tepat dalam pembangunan akidah sehingga mahasiswanya tidak salah dalam memahami agama dan Tuhan.
Ada 2 alasan mengapa kurikulum ini benar-benar menjadi urgensi yang harus segera dilakukan. Yang pertama, peminat jurusan yang menawarkan kebebasan dalam berkreasi ini menjadi meningkat tajam. Dari tahun ke tahun jumlah calon mahasiswa yang mengikuti UMDESAIN semakin meningkat. Beberapa perguruan tinggi sudah banyak yang mulai membuka jurusan ini. Bahkan meskipun perguruan tinggi tersebut tidak memiliki korelasi yang tepat dengan jurusan desain. Rasanya tidak afdol jika tidak membuka jurusan desain.
Alasan kedua adalah, desain, terutama desain grafis, bersifat sangat provokatif. Pekerjaan sehari-harinya adalah membuat iklan. Iklan sangat dekat dekat konsumen. Setiap hari dan setiap saat kita selalu disuguhi dengan iklan. Dari bangun tidur hingga kembali tidur, iklan tidak berhenti menyerang kita lewat berbagai media. Awalnya tidak membeli, menjadi membeli. Ini semua karena kemampuan desainer iklan dalam memprovokasi konsumen.
Sekarang bayangkan, bagaimana nasib dunia ini jika memang kita diprovokasi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman akan Tuhan sangat terbatas? Bisa jadi, mereka (dengan segala kemampuannya) akan meracuni pikiran konsumen dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianutnya. Astaghfirullah.
Sebagai insan pendidikan, sudah selayaknya kita meng-edukasi pikiran kita semua agar tidak memvisualkan Tuhan, dan tidak membatasi Tuhan dengan visual kita. Jika kita memang percaya Tuhan Maha Pengampun, maka mengapa kita tidak memohon ampun padaNya atas segala kesalahan kita? Wallahualam bis shawab.
Kehebatannya menjangkau sesuatu diluar nalar ternyata tidak dimiliki oleh semua orang. Desainer memiliki kecenderungan berpikir memvisualkan apa yang ada didalam pikirannya. Bobby De Potter dalam bukunya ”Quantum Learning”, mengatakan orang-orang ini termasuk dalam kategori pembelajar tipe visual, yakni selalu memvisualkan semua hal, termasuk verbal maupun auditorial. Misalnya, jika desainer disuruh untuk mendiskripsikan tentang jeruk, maka ia segera berpikir tentang gambar jeruk, lalu mencoba menggambarkan jeruk lewat sebuah gambar. Dengan secepat mungkin ia mentransfer apa yang ada didalam pikirannya ke gambar tersebut.
Lalu bagaimana cara desainer dalam belajar tentang Tuhan? Bagaimana perjalanan spiritual para desainer dan kaum seniman? Apakah ia masih menggunakan daya visualnya untuk memahami makna Tuhan?
Saya (penulis) jadi teringat akan satu kenyataan di India dan Cina. Kedua negara itu sejak dulu sudah terkenal sebagai negara yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Jauh sebelum revolusi industri di Inggris, atau restorasi Meiji di Jepang, kedua negara itu sudah memiliki peradaban yang sangat tinggi. India dan Cina terkenal sebagai negara penghasil sutera dan perabotan dari guci, emas, dan perak.
Kedua negara itu ternyata memiliki cara sendiri dalam memahami makna Tuhan. Mereka memvisualisasikan Tuhan dalam bentuk berbagai macam patung dan sesembahan yang lain. Bagi mereka, ini adalah kepercayaan mereka. Namun sejatinya apa yang mereka sembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Patung dan sesembahan-sesembahan itu tak lain tak bukan, hanyalah bukti kepercayaan mereka terhadap Tuhan yang mereka wujudkan lewat jiwa seni mereka yang sangat tinggi.
Tak jauh dari orang India dan Cina, para desainer pun juga berpikir seperti itu. Hanya saja tidak semua desainer mewujudkannya dalam bentuk patung, namun bentuk-bentuk visual yang lain. Apapun bentuknya itu, mereka akan memvisualkan fisik Tuhan. Sebagian desainer menggambarkan Tuhan dalam bentuk sosok raja, lengkap dengan singgasana kerajaannya. Dikepala raja itu, ada sebuah mahkota bertahtakan emas dan berlian yang paling indah. Mungkin juga Tuhan diwujudkan sebagai sesosok Makhluk yang sangat besar, besar sekali hingga tak ada yang mampu menandinginya.
Lalu bagaimana islam memandang hal ini? Bagaimana islam mengajarkan umatnya dalam memahami Tuhannya?
Sebelum kita membahas ini, maka kita harus menyamakan persepsi bahwa jika ada dua hal yang berbeda sifat maka dua hal tersebut tidak dapat dijadikan satu. Contohnya minyak dan air, atau mungkin bangun segitiga dan lingkaran. Selain itu, kita juga harus menyamakan persepsi bahwa sesuatu yang tidak bisa kita lihat maka bukan berarti tidak ada. Ada sesuatu yang tidak bisa kita lihat, namun esensinya ada, listrik misalnya.
Apa yang dilakukan oleh seniman di India maupun di Cina, dan juga para desainer adalah bukti kepercayaannya pada Tuhan. Mereka memahami Tuhan berdasarkan caranya.
Adakah yang salah dari ini semua? Kita perlu hati-hati dalam menyikapinya.
Sebenarnya tidak salah jika mereka mempercayai adanya Tuhan, karena memang Tuhan itu ada. Namun cara mereka memahami Tuhan sangat keliru.
Eksistensi Tuhan tidak terpengaruh oleh kepercayaan kita. Kita percaya ataupun tidak, Tuhan tetap ada. Esensinya, bagaimanapun cara kita memahami Tuhan, ia akan tetap ada. Memvisualisasikan Tuhan kedalam wujud yang ada dalam pikiran manusia adalah sebuah dosa besar.
Sabda Allah dalam kitab suciNya Al-Quran mengatakan bahwa ”....sesungguhnya dari penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berpikir”.
Jika kita terdampar disatu pedesaan yang kita tidak mengenalnya, lalu kita menebang salah satu pohon kecil disana. Tidak lama setelah itu datang puluhan orang mendatangi kita, dan dengan paksa menghukum kita atas kesalahan kita menebang pohon tadi.
Dari hukum yang berlaku disana, maka kita yakin ada sebuah sistem yang berlaku disana. Jika ada sebuah sistem, secara langsung maupun tak langsung, kita harus mempercayai bahwa ada seorang pemimpin disana. Seorang pemimpin yang membuat, melaksanakan dan mengontrol jalannya sistem yang ada didaerah itu.
Sama halnya dengan memaknai Tuhan, dengan hanya mengetahui adanya alam ini dan sistem yang berlaku dialam ini (hujan, bumi berputar, siang, malam, dll) maka cukup sudah kita mengetahui bahwa ada Dzat yang memimpin ini semua. Dialah Tuhan. Kita tidak perlu memvisualisasikannya, apalagi mewujudkannya dalam bentuk fisik. Tuhan tidak sama dengan makhlukNya, apalagi dengan makhluk ciptaan makhlukNya (patung, bendera, simbol-simbol, dll). Sangat jauh.
Pikiran manusia terbatas. Sedangkan Tuhan itu tidak terbatas. Seperti yang kita setujui, bahwa 2 hal yang berbeda tidak akan bisa disatukan. Kebesaran Tuhan itu tidak terbatas. Sedangkan pikiran manusia yang terbatas, pasti akan menggambarkan kebesaran Tuhan yang terbatas pula, sebatas apa yang bisa dipikirkannya. Mungkin setiap manusia menggambarkan kebesaran Tuhan sebesar 10 cm2, atau 10 km2, atau 1juta km2, atau berapapun itu pasti ada batasannya. Sayangnya, kebesaran Tuhan itu tidak terbatas, apalagi dibatasi oleh pikiran manusia. Jika kita berani memvisualkan Tuhan, maka kita telah berani membatasi Tuhan. Dan jelas, ini adalah satu kesalahan besar karena kita telah menggeser makna ke-Maha Besar-an Tuhan sebesar pikiran kita saja.
Tuhan tidak terbatas ruang dan waktu karena pada dasarnya ruang dan waktu adalah ciptaanNya. Ke-Maha Awal-an Tuhan tidak dibatasi dengan adanya Nabi Adam dialam ini. Ke-Maha Akhir-an Tuhan juga tidak dibatasi dengan adanya kiamat yang sangat jelas diterangkan di Al Quran. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan berada di satu waktu tertentu dan satu tempat tertentu.
Ada satu privasi Tuhan yang tidak bisa kita tembus. Itulah mengapa kita harus menyetujui bahwa jika ada 2 hal yang berbeda, maka 2 hal itu tidak akan pernah bisa disatukan. Tuhan hanya mengijinkan kita memahamiNya lewat alam ciptaanNya ini. Tidak ada yang sanggup melihat Tuhan, bahkan ketika Nabi Musa hendak bertemu Allah, seluruh gunung meletus dan Nabi Musa pun pingsan. Padahal pada saat itu, Allah hanya menunjukkan Nur-Nya saja.
Selain melihat alam ciptaanNya, kita juga bisa melihat Tuhan dengan segala sifat-sifat baiknya. Jika didalam hati kita terbesit untuk jujur, maka yakinlah itu dari Tuhan. Jika kita melihat orang yang sangat pemaaf, maka yakinlah, Tuhan jauh lebih pemaaf dari hambaNya. Karena semua sifat baik adalah milik Tuhan.
Sama halnya jika kita melihat sebuah produk, Aqua misalnya. Dari produknya yang bisa kita beli ditoko-toko atau kantin kampus, maka kita bisa meyakini bahwa disana (entah dimana) pasti terdapat pabrik Aqua. Artinya, dari eksistensi produknya maka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa produk itu ada produsennya. Kita tidak perlu datang ke pabrik Aqua untuk memastikan apakah pabrik Aqua itu memang benar-benar ada atau tidak, bukan? Cukup dengan melihat gelas atau botol Aqua saja kita bisa melihat adanya pabrik Aqua.
Dan alangkah salahnya jika kita menggambarkan pabrik Aqua dengan imajinasi kita, sementara kita belum pernah datang ke pabriknya secara langsung. Bisa saja kita berimajinasi bahwa pabrik Aqua itu adalah sebuah kolam yang sangat besar yang didalamnya ada ikan-ikan besar seperti paus, dll. Atau kita juga bisa menggambarkan pabrik Aqua seperti gubuk kecil ditengah sawah yang dipinggirnya ada sumur kecil yang menyemprotkan airnya sampai keatas. Semua gambaran bisa saja keluar, namun sayangnya semua keliru.
Mengingat hal ini sudah sangat jelas berdosa, maka sudah semestinya institusi pendidikan yang mengajarkan tentang seni atau desain juga harus mengajarkan akidah yang cukup mendalam pada mahasiswanya. Pengetahuan tentang visualisasi Tuhan seharusnya dijadikan dasar dalam memaknai Tuhan dan menjalankan perintah agamanya. Sudah menjadi tanggung jawab bersama, khususnya perkuliahan agama yang ditunjang dengan kajian agama dijurusan atau sie kerohanian untuk merumuskan satu kurikulum yang tepat dalam pembangunan akidah sehingga mahasiswanya tidak salah dalam memahami agama dan Tuhan.
Ada 2 alasan mengapa kurikulum ini benar-benar menjadi urgensi yang harus segera dilakukan. Yang pertama, peminat jurusan yang menawarkan kebebasan dalam berkreasi ini menjadi meningkat tajam. Dari tahun ke tahun jumlah calon mahasiswa yang mengikuti UMDESAIN semakin meningkat. Beberapa perguruan tinggi sudah banyak yang mulai membuka jurusan ini. Bahkan meskipun perguruan tinggi tersebut tidak memiliki korelasi yang tepat dengan jurusan desain. Rasanya tidak afdol jika tidak membuka jurusan desain.
Alasan kedua adalah, desain, terutama desain grafis, bersifat sangat provokatif. Pekerjaan sehari-harinya adalah membuat iklan. Iklan sangat dekat dekat konsumen. Setiap hari dan setiap saat kita selalu disuguhi dengan iklan. Dari bangun tidur hingga kembali tidur, iklan tidak berhenti menyerang kita lewat berbagai media. Awalnya tidak membeli, menjadi membeli. Ini semua karena kemampuan desainer iklan dalam memprovokasi konsumen.
Sekarang bayangkan, bagaimana nasib dunia ini jika memang kita diprovokasi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman akan Tuhan sangat terbatas? Bisa jadi, mereka (dengan segala kemampuannya) akan meracuni pikiran konsumen dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianutnya. Astaghfirullah.
Sebagai insan pendidikan, sudah selayaknya kita meng-edukasi pikiran kita semua agar tidak memvisualkan Tuhan, dan tidak membatasi Tuhan dengan visual kita. Jika kita memang percaya Tuhan Maha Pengampun, maka mengapa kita tidak memohon ampun padaNya atas segala kesalahan kita? Wallahualam bis shawab.
Label: merenung seorang diri
3 Komentar:
Assalaamu'alaikum,
Gust, aku sempat ngopy tulisanmu iki, part 1 & part 2, tak woco nang oma, soale nek nok pabrik waktune gak cukup.
Matur suwun atas pelajaran hari ini.
---
Datanglah ke suatu tempat, dimana hatimu pernah terpaut, tempat kau mencinta, tempat kau melepaskan semua yang ada di pikiran & di hati, tempat yang saaaangaaattt besar, entah sebuah Masjid atau tanah lapang (koyoke Masjid Agung Suroboyo iku panggonan sing pas).
Bersuci, basuh semua bagian wudhu dengan kesungguhan engkau mencuci semua kotoran yang ada. Yang ada dipermukaan kulitmu, hingga yang ada di kedalaman hatimu.
Setelah bersuci, masuk ke dalam ruang utama masjid. Lihat sekelilingmu, rasakan kebesaran & kemegahan masjid ini.
Lalu sholat 2 rokaat, jangan pejamkan matamu, sadarilah eksistensimu, bahwa kau berada di sebuah masjid yang sangat luas, sangat megah, besaaarrrr.
Sadarilah eksistensimu di bawah sebuah kubah Masjid yang sangat besar, dan kamu hanya seorang diri. Kau berada di bawah langit yang sangat besar.
Setelah sholat, lihat kembali sekelilingmu, bahwa kau bukan apa-apa. Keberadaanmu dan ketidakberadaanmu di bawah langit ini tidak berpengaruh apa-apa, kau bukan siapa-siapa.
Tundukkan wajahmu ke tanah. Betapa dekatnya kepalamu dengan tanah. Sekali lagi bahwa kau bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.
Dan mungkin tanpa kau sadari, air matamu akan menitik. Mengingat betapa engkau pernah merasa besar diantara manusia yang lain, bahwa engkau pernah merasa lebih dari yang lain.
Kalo di bawah kubah Masjid yang sangat besar itu, atau dibawah langit yang super luas itu kita telah merasa bukan apa-apa, lalu akankah kita sanggup sombong di hadapan Alloh? Alloh yang melingkupi segalanya karena Dia memang Maha Besar, dan kebesaran-Nya itu tak terbatas pikiran kita.
Dan kau akan mengingat orang2 yang kau cintai...bahwa mereka juga bukan apa-apa, apakah mereka masih sanggup untuk sombong?
Akan terlontar sebuah kalimat, bibir dan hati mengucapkannya...Allohu Akbar...Its true...
Tapi Gust, mungkin perlu di telaah lagi kalimatmu sing: Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan berada di satu waktu tertentu dan SATU TEMPAT TERTENTU.
Dalam QS.7:54 Alloh berfirman: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu DIA BERSEMAYAM DI ATAS ARSY. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam."
Wallahualam bis shawab.
ok mas, terima kasih atas sarannya yang sangat membangun dan semakin meningkatkan pengetahuanku dalam mencari Tuhan.
sebenarnya sangat riskan aku meng-upload tulisan ini, tapi inilah renunganku atas kuliahku selama ini yang selalu memvisualkan apapun. aku takut bahkan karena terlalu sering memvisualkan sesuatu, akhirnya Tuhan pun divisualkan, padahal dalam surat Al Araf 143, musa pun tak mampu melihat Tuhan, dan Al Ikhlas ayat 4 Allah mengatakan bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluknya apalagi makhluk yang dibuat oleh makhluknya.
saya sering datang ke masjid agung mas, terutama kalo pas stres dan merasa imanku menurun. aku hadapkan diriku yang bukan apa-2, kecil sekali, apalagi kalo aku berada dalam kerajaanNya (pasti jauh lebih kecil). thengkyu
ya mas, Tuhan memang berada di"Arsy"nya. hanya itu saja yang perlu kita percaya, kita tidak akan mampu bagaimana besarnya Arsynya (dimensi ruang), dan sejak kapan arsy itu ada(dimensi waktu), karena itu semua rahasia Allah. hanya Allah yang Tahu. itulah yang saya namakan "ruang privasi Tuhan". sekali lagi, kita tak boleh menyangkal kalo Allah itu ada, juga kerajaanNya yang tidak terbatas ruang dan waktu.
mas, betapa saat ini banyak sekali orang yang mencoba memvisualkan Tuhan ada disatu tempat, ini berarti kebesaran Tuhan terbatas oleh besarnya tempat itu. padahal Allah Maha Besar, bukan? yang "besar"Nya tidak terbatas langit dan bumi.
banyak juga yang mencoba berpikir Tuhan ada di satu waktu. ini juga berarti membatasi Tuhan dengan keberadaanNya yang tiada awal dan tiada akhir.
wallahu alam mas, kita (khususnya saya) harus selalu istigfar atas kondisi dan keterbatasan kita yang selalu menyangka-nyangka akan Tuhan.
mas, aku takut aku dan kawan-kawanku dijurusanku tersesat terlalu jauh....karena terlalu sering memvisualkan sesuatu.
but thanks alot bro of your opinion....
thanks God for today learning...
bila kita merenungkan mengenai segala hal tentang Alloh dan hal itu semakin membuat kita sadar bahwa kita hanyalah manusia yang serba terbatas, its good.
tapi bila semakin kita merenung dan semakin membawa kita jauh.....dan semaikn merasa hebat, its dangerous.
hidup memang pilihan, tergantung kita memilih yang mana...
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda