Minggu, 18 Januari 2009

visualisasi Tuhan (part 2)

Orang-orang yang bergerak dibidang seni dan desain (NB: agar menyingkat tulisan, maka kita sebut mereka sebagai desainer) adalah orang-orang yang unik. Orang-orang ini adalah orang yang memiliki alam pikiran yang luas, liar, tak terbendung. Tak ada yang mampu mengejar pikirannya yang terbang kemana-mana. Mereka berpikir sesuatu yang oleh orang lain pikir itu tidak mungkin. Itulah letak ke”aneh”annya.


Kehebatannya menjangkau sesuatu diluar nalar ternyata tidak dimiliki oleh semua orang. Desainer memiliki kecenderungan berpikir memvisualkan apa yang ada didalam pikirannya. Bobby De Potter dalam bukunya ”Quantum Learning”, mengatakan orang-orang ini termasuk dalam kategori pembelajar tipe visual, yakni selalu memvisualkan semua hal, termasuk verbal maupun auditorial. Misalnya, jika desainer disuruh untuk mendiskripsikan tentang jeruk, maka ia segera berpikir tentang gambar jeruk, lalu mencoba menggambarkan jeruk lewat sebuah gambar. Dengan secepat mungkin ia mentransfer apa yang ada didalam pikirannya ke gambar tersebut.


Lalu bagaimana cara desainer dalam belajar tentang Tuhan? Bagaimana perjalanan spiritual para desainer dan kaum seniman? Apakah ia masih menggunakan daya visualnya untuk memahami makna Tuhan?


Saya (penulis) jadi teringat akan satu kenyataan di India dan Cina. Kedua negara itu sejak dulu sudah terkenal sebagai negara yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Jauh sebelum revolusi industri di Inggris, atau restorasi Meiji di Jepang, kedua negara itu sudah memiliki peradaban yang sangat tinggi. India dan Cina terkenal sebagai negara penghasil sutera dan perabotan dari guci, emas, dan perak.
Kedua negara itu ternyata memiliki cara sendiri dalam memahami makna Tuhan. Mereka memvisualisasikan Tuhan dalam bentuk berbagai macam patung dan sesembahan yang lain. Bagi mereka, ini adalah kepercayaan mereka. Namun sejatinya apa yang mereka sembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Patung dan sesembahan-sesembahan itu tak lain tak bukan, hanyalah bukti kepercayaan mereka terhadap Tuhan yang mereka wujudkan lewat jiwa seni mereka yang sangat tinggi.


Tak jauh dari orang India dan Cina, para desainer pun juga berpikir seperti itu. Hanya saja tidak semua desainer mewujudkannya dalam bentuk patung, namun bentuk-bentuk visual yang lain. Apapun bentuknya itu, mereka akan memvisualkan fisik Tuhan. Sebagian desainer menggambarkan Tuhan dalam bentuk sosok raja, lengkap dengan singgasana kerajaannya. Dikepala raja itu, ada sebuah mahkota bertahtakan emas dan berlian yang paling indah. Mungkin juga Tuhan diwujudkan sebagai sesosok Makhluk yang sangat besar, besar sekali hingga tak ada yang mampu menandinginya.


Lalu bagaimana islam memandang hal ini? Bagaimana islam mengajarkan umatnya dalam memahami Tuhannya?


Sebelum kita membahas ini, maka kita harus menyamakan persepsi bahwa jika ada dua hal yang berbeda sifat maka dua hal tersebut tidak dapat dijadikan satu. Contohnya minyak dan air, atau mungkin bangun segitiga dan lingkaran. Selain itu, kita juga harus menyamakan persepsi bahwa sesuatu yang tidak bisa kita lihat maka bukan berarti tidak ada. Ada sesuatu yang tidak bisa kita lihat, namun esensinya ada, listrik misalnya.
Apa yang dilakukan oleh seniman di India maupun di Cina, dan juga para desainer adalah bukti kepercayaannya pada Tuhan. Mereka memahami Tuhan berdasarkan caranya.

Adakah yang salah dari ini semua? Kita perlu hati-hati dalam menyikapinya.


Sebenarnya tidak salah jika mereka mempercayai adanya Tuhan, karena memang Tuhan itu ada. Namun cara mereka memahami Tuhan sangat keliru.
Eksistensi Tuhan tidak terpengaruh oleh kepercayaan kita. Kita percaya ataupun tidak, Tuhan tetap ada. Esensinya, bagaimanapun cara kita memahami Tuhan, ia akan tetap ada. Memvisualisasikan Tuhan kedalam wujud yang ada dalam pikiran manusia adalah sebuah dosa besar.


Sabda Allah dalam kitab suciNya Al-Quran mengatakan bahwa ”....sesungguhnya dari penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berpikir”.


Jika kita terdampar disatu pedesaan yang kita tidak mengenalnya, lalu kita menebang salah satu pohon kecil disana. Tidak lama setelah itu datang puluhan orang mendatangi kita, dan dengan paksa menghukum kita atas kesalahan kita menebang pohon tadi.
Dari hukum yang berlaku disana, maka kita yakin ada sebuah sistem yang berlaku disana. Jika ada sebuah sistem, secara langsung maupun tak langsung, kita harus mempercayai bahwa ada seorang pemimpin disana. Seorang pemimpin yang membuat, melaksanakan dan mengontrol jalannya sistem yang ada didaerah itu.


Sama halnya dengan memaknai Tuhan, dengan hanya mengetahui adanya alam ini dan sistem yang berlaku dialam ini (hujan, bumi berputar, siang, malam, dll) maka cukup sudah kita mengetahui bahwa ada Dzat yang memimpin ini semua. Dialah Tuhan. Kita tidak perlu memvisualisasikannya, apalagi mewujudkannya dalam bentuk fisik. Tuhan tidak sama dengan makhlukNya, apalagi dengan makhluk ciptaan makhlukNya (patung, bendera, simbol-simbol, dll). Sangat jauh.


Pikiran manusia terbatas. Sedangkan Tuhan itu tidak terbatas. Seperti yang kita setujui, bahwa 2 hal yang berbeda tidak akan bisa disatukan. Kebesaran Tuhan itu tidak terbatas. Sedangkan pikiran manusia yang terbatas, pasti akan menggambarkan kebesaran Tuhan yang terbatas pula, sebatas apa yang bisa dipikirkannya. Mungkin setiap manusia menggambarkan kebesaran Tuhan sebesar 10 cm2, atau 10 km2, atau 1juta km2, atau berapapun itu pasti ada batasannya. Sayangnya, kebesaran Tuhan itu tidak terbatas, apalagi dibatasi oleh pikiran manusia. Jika kita berani memvisualkan Tuhan, maka kita telah berani membatasi Tuhan. Dan jelas, ini adalah satu kesalahan besar karena kita telah menggeser makna ke-Maha Besar-an Tuhan sebesar pikiran kita saja.
Tuhan tidak terbatas ruang dan waktu karena pada dasarnya ruang dan waktu adalah ciptaanNya. Ke-Maha Awal-an Tuhan tidak dibatasi dengan adanya Nabi Adam dialam ini. Ke-Maha Akhir-an Tuhan juga tidak dibatasi dengan adanya kiamat yang sangat jelas diterangkan di Al Quran. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan berada di satu waktu tertentu dan satu tempat tertentu.


Ada satu privasi Tuhan yang tidak bisa kita tembus. Itulah mengapa kita harus menyetujui bahwa jika ada 2 hal yang berbeda, maka 2 hal itu tidak akan pernah bisa disatukan. Tuhan hanya mengijinkan kita memahamiNya lewat alam ciptaanNya ini. Tidak ada yang sanggup melihat Tuhan, bahkan ketika Nabi Musa hendak bertemu Allah, seluruh gunung meletus dan Nabi Musa pun pingsan. Padahal pada saat itu, Allah hanya menunjukkan Nur-Nya saja.


Selain melihat alam ciptaanNya, kita juga bisa melihat Tuhan dengan segala sifat-sifat baiknya. Jika didalam hati kita terbesit untuk jujur, maka yakinlah itu dari Tuhan. Jika kita melihat orang yang sangat pemaaf, maka yakinlah, Tuhan jauh lebih pemaaf dari hambaNya. Karena semua sifat baik adalah milik Tuhan.


Sama halnya jika kita melihat sebuah produk, Aqua misalnya. Dari produknya yang bisa kita beli ditoko-toko atau kantin kampus, maka kita bisa meyakini bahwa disana (entah dimana) pasti terdapat pabrik Aqua. Artinya, dari eksistensi produknya maka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa produk itu ada produsennya. Kita tidak perlu datang ke pabrik Aqua untuk memastikan apakah pabrik Aqua itu memang benar-benar ada atau tidak, bukan? Cukup dengan melihat gelas atau botol Aqua saja kita bisa melihat adanya pabrik Aqua.


Dan alangkah salahnya jika kita menggambarkan pabrik Aqua dengan imajinasi kita, sementara kita belum pernah datang ke pabriknya secara langsung. Bisa saja kita berimajinasi bahwa pabrik Aqua itu adalah sebuah kolam yang sangat besar yang didalamnya ada ikan-ikan besar seperti paus, dll. Atau kita juga bisa menggambarkan pabrik Aqua seperti gubuk kecil ditengah sawah yang dipinggirnya ada sumur kecil yang menyemprotkan airnya sampai keatas. Semua gambaran bisa saja keluar, namun sayangnya semua keliru.


Mengingat hal ini sudah sangat jelas berdosa, maka sudah semestinya institusi pendidikan yang mengajarkan tentang seni atau desain juga harus mengajarkan akidah yang cukup mendalam pada mahasiswanya. Pengetahuan tentang visualisasi Tuhan seharusnya dijadikan dasar dalam memaknai Tuhan dan menjalankan perintah agamanya. Sudah menjadi tanggung jawab bersama, khususnya perkuliahan agama yang ditunjang dengan kajian agama dijurusan atau sie kerohanian untuk merumuskan satu kurikulum yang tepat dalam pembangunan akidah sehingga mahasiswanya tidak salah dalam memahami agama dan Tuhan.


Ada 2 alasan mengapa kurikulum ini benar-benar menjadi urgensi yang harus segera dilakukan. Yang pertama, peminat jurusan yang menawarkan kebebasan dalam berkreasi ini menjadi meningkat tajam. Dari tahun ke tahun jumlah calon mahasiswa yang mengikuti UMDESAIN semakin meningkat. Beberapa perguruan tinggi sudah banyak yang mulai membuka jurusan ini. Bahkan meskipun perguruan tinggi tersebut tidak memiliki korelasi yang tepat dengan jurusan desain. Rasanya tidak afdol jika tidak membuka jurusan desain.


Alasan kedua adalah, desain, terutama desain grafis, bersifat sangat provokatif. Pekerjaan sehari-harinya adalah membuat iklan. Iklan sangat dekat dekat konsumen. Setiap hari dan setiap saat kita selalu disuguhi dengan iklan. Dari bangun tidur hingga kembali tidur, iklan tidak berhenti menyerang kita lewat berbagai media. Awalnya tidak membeli, menjadi membeli. Ini semua karena kemampuan desainer iklan dalam memprovokasi konsumen.


Sekarang bayangkan, bagaimana nasib dunia ini jika memang kita diprovokasi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman akan Tuhan sangat terbatas? Bisa jadi, mereka (dengan segala kemampuannya) akan meracuni pikiran konsumen dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianutnya. Astaghfirullah.


Sebagai insan pendidikan, sudah selayaknya kita meng-edukasi pikiran kita semua agar tidak memvisualkan Tuhan, dan tidak membatasi Tuhan dengan visual kita. Jika kita memang percaya Tuhan Maha Pengampun, maka mengapa kita tidak memohon ampun padaNya atas segala kesalahan kita? Wallahualam bis shawab.

Label:

visualisasi Tuhan (part 1)

Sekiranya benar jika ada orang yang mengatakan bahwa kita adalah makhluk yang percaya adanya Tuhan. Setiap orang didunia ini percaya akan adanya Tuhan. Mencari Tuhan adalah sesuatu yang sudah lama dilakukan oleh manusia didunia ini bahkan jauh sebelum masa kita sekalipun.


Mungkin masih terngiang dibenak kita bagaimana guru ngaji kita pernah bercerita tentang pencarian Nabi Musa terhadap Tuhannya. Ia (Nabi Musa) tak percaya bahwa sapi betina adalah Tuhan manusia. Meski mengalami perang batin yang sedemikian dahsyatnya, namun ia tetap percaya bahwa Tuhan itu ada, dan itu bukan sapi betina seperti yang disembah oleh kaum yahudi saat itu. Sama bergejolaknya seperti Nabi Musa, Nabi Ibrahim pun tak percaya bahwa patung-patung buatan ayahnya yang disembah oleh Namrud dan kaumnya adalah Tuhan sebenarnya.


Memang, mencari Tuhan adalah fitrah manusia. Tak bisa dipungkiri, setiap kita pasti merasakan apa yang disebut dengan pengalaman spiritual dalam mencari Tuhan. Ada yang menemukan Tuhan ketika ia berhutang. Ada yang menemukan Tuhan selepas ia dilanda bencana. Ada pula yang menemukan Tuhan dengan berkelana seperti film bertajuk pengembara Tuhan yang diperankan oleh Deddy Mizwar beberapa tahun yang lalu ketika kita masih kecil.


Omong kosong, jika ada yang tidak percaya adanya Tuhan. Firaun pun, sebelum ia tewas tenggelam dilaut merah, akhirnya percaya akan ajaran nabi Musa. Juga ratu Rusia. Semua orang tahu, Rusia adalah Negara komunis-sosialis yang sangat tidak percaya adanya Tuhan. Ia pun mengucapkan kebesaran Tuhan seraya takjub, dalam acara pertunjukan atraksi pesawat tempur dinegaranya. Nenek moyang kita yang beralirankan animisme dan dinamisme pun percaya adanya Dzat ghoib yang menguasai manusia, meski apa yang mereka lakukan kita anggap salah.


Lalu bagaimana dengan pengalaman spiritual kaum yang mengaku seniman atau desainer dalam mencari Tuhannya?

Label: